“Tadinya anak buah saya bermaksud, jika sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri. Lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada yang di Hizbullah (pimpinan KH. Zainul Arifin) ada yang barisan pemberontakan rakyat (Pimpinan Bung Tomo) dan sebagainya.”
<>Itulah niat Djamaludin Malik yang dikemukakan kepada KH. Wachid Hasyim, tokoh NU sekaligus mentri agama pertama RI yang didokumentasikan KH. Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren. Selain Saifuddin, hadir KH Fattah Yasin, laskar Hizbullah yang bergabung ke Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Percakapan itu terjadi di Yogyakarta, saat ibukota pindah dari Jakarta sejak 4 Januari 1946 hingga 28 Desember 1949. Saat itu wilayah Indonesia menyempit akibat perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. Karena itulah kabinet Amir Syarifudin jatuh.
Berjuang bukanlah milik para laskar dan tentara. Tapi juga para seniman, termasuk Djamal, pria kelahiran Padang, 3 Februari 1917 ini. Ia bersama kelompok sandiwara Panca Warna, yang didirkannya pada tahun 1942 ini berkeliling hampir ke seluruh kota besar Indonesia. Tujuannya untuk membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air. Daya jelajahnya tidak hanya di pulau Jawa, melainkan Sulawesi dan Kalimantan.
Rupanya hal itu tidak memuaskannya. Djamal bersama anak buanya berniat menetap di Yogyakarta, turut mengangkat senjata dan terjun ke kelaskaran dan tentunya meninggalkan pentas sandiwara.
Tapi niatnya ditolak Wachid Hasyim. Ia punya pandangan lain tentang perjuangan. Menurutnya, berjuang tidak harus dengan senjata atau kelaskaran. Perlu ada yang berjuang di wilayah lain. Lagi pula anggota kelaskaran sudah sangat banyak. Dan, orang-orang yang berjuang lewat seni, khususnya sandiwara, masih sangat kurang. Padahal itu amat penting dalam perjuangan besar.
Wachid menambahkan, dalam pementasan sandiwara, bisa dijadikan tempat bertemunya orang-orang Republiken (Indonesia) dan mengumpulkan senjata. Ia menyarankan supaya Djamal segera ke Jakarta, yang sudah dikuasai Belanda, karena kelompok sandiwara tidak akan dicurigia.
Pandangan kiai jeniaus, putra rais akbar NU, Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari ini diterima Djamal. Dia pun memantapkan diri dengan berjuang terus lewat kelompok sandiwaranya.
Di kemudian hari, setelah Wachid wafat (19 April 1953), Djamaludin melanjutkan minatnya dalam dunia kesenian dan budaya. Ia bersama bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani bergabung di Lesbumi. Lembaga di bawah naungan Nahdlatul ULama (NU) ini diresmikan KH. Saifuddin Zuhri pada 28 Maret 1962.
Dedikasi terhadap kesenian, khususnya perfilman, ketiganya menjadi tokoh utama perfilman nasional. Djamaludin mendirikan Persari yang membuahkan 59 judul film. Usmar Ismail mendirikan Perfini dan ditetapkan jadi bapak film Indonesia. Sementara Asrul Sani, di samping jadi sastrawan, ia juga sutradara masyhur. Salah satunya film Nagabonar yang dibintangi Dedy Mizwar.
Selain di Lesbumi, Djamal pernah aktif di Gerakan Pemuda Ansor Anak cabang Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Kemudian menggenapkan pengabdiannya di NU dengan menjadi pengurus Besar Nahldltul Ulama (ketua III, 1956–1959) pada masa Idham Khalid.
Djamal meninggal di Munchen, Jerman pada pada 08 Juni 1970. Atas perjuangan dan jasanya, presiden Republik Indonesia, pada tahun 1973, mengukuhkan Djamaludin Malik sebagai Pahlawan Nasional dengan mendapat Bintang Mahaputra Kelas II/Adipradhana. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
3
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
4
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
5
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
6
Sejumlah SD Negeri Sepi Pendaftar, Ini Respons Mendikdasmen
Terkini
Lihat Semua