Fragmen

Dua Putra KH Hasyim Asy'ari yang Menjadi Prajurit Republik

Jum, 26 Juni 2020 | 12:35 WIB

Dua Putra KH Hasyim Asy'ari yang Menjadi Prajurit Republik

Foto Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari. (Sumber: dokumen peninggalan santri KH Hasyim Asy'ari bernama KH Amir Ilyas yang ditemukan oleh cucu Kiai Amir Ilyas sendiri, Muhammad Al-Mubassyir pada 2017)

Sudah amat terkenal, juga di kalangan Belanda bahwa KH Hasyim Asy’ari amat besar jasanya dalam pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah, sangat besar sahamnya mendirikan kemerdekaan Indonesia, dan sangat besar jasanya membela dan mempertahankan Republik Indonesia.


Tak hanya memberikan arahan, nasihat, dan strategi perjuangan, KH Hasyim Asy’ari juga menyerahkan dua putranya menjadi prajurit Republik, yaitu Abdul Kholiq Hasyim (Daidancho PETA, Letkol TNI) dan Yusuf Hasyim (Letnan I TNI). Selain itu, seluruh santri tentu saja menjadi pasukan garda depan perlawanan terhadap penjajah. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 448)


Kiai Hasyim Asy’ari-lah ulama pertama yang mengumumkan fatwanya bahwa menjadi kewajiban bagi umat Islam laki-laki dan perempuan untuk mengangkat senjata mempertahankan Republik Indonesia dari serangan musuh.


Kewajiban itu menjadi fardhu’ain bagi siapa-siapa yang berada dalam radius 94 km dari kedudukan musuh yang melakukan agresi. Tetapi bagi mereka yang berada di luar jarak 94 km dikenakan kewajiban membantu saudara-saudara mereka yang terkena fardhu’ain tersebut. (KH Saifuddin Zuhri, 2013)


Dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum surut. Bahkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku dalam Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia.


Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah. Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap sembahyang dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.


Sebab serangan pada 21 Juli 1947 itu, daerah RI semakin menciut. Istilah KH Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya saat itu. Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 tersebut.


Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah ini cukup mengejutkan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.


Begitu berita buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil berdzikir menyebut nama Allah SWT: “Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri. Hadhratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.


Namun, berita yang dilaporkan dengan cara yang amat halus bernada ‘lunak’ itu tidak bisa mencegah keterkejutan Hadhratussyekh yang tengah mengajar di serambi masjid di tengah-tengah pesantren yang terkenal sebagai markas pertahanan Republik Indonesia itu.


Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh Hadhratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 76 tahun.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi