Fragmen

Garis Perjuangan Kiai Dulah dan Kiai Ayip Buntet

Ahad, 7 Maret 2021 | 04:30 WIB

Garis Perjuangan Kiai Dulah dan Kiai Ayip Buntet

KH Abdullah Abbas (berbaju putih) dan KH Ayip Abbas (berbatik lengan pendek). (Sumber: Flickr Koleksi Buntet Pesantren)

Oleh Syakir NF

Tanggal 7 Maret menjadi hari bersejarah. Pasalnya, di tanggal itu, KH Abdullah Abbas Buntet Pesantren lahir, tepatnya pada tahun 1922. Kemudian, di tanggal yang sama, 98 tahun setelahnya, putra KH Abdullah Abbas, yakni KH Ayip Abbas wafat, tepatnya tahun 2020. Ya, sudah setahun KH Ayip Abbas berpulang ke haribaan Ilahi dan 99 tahun lalu ayahandanya dilahirkan dari seorang ibu bernama Nyai Anah, istri KH Abbas Abdul Jamil.

 

Ada satu hal penting yang menjadi pelajaran dari kedua sosok tersebut, yakni pembelaannya terhadap 'wong cilik'. Orang-orang yang terpinggirkan, termarjinalkan, tereksklusi dari kehidupan umum menjadi kelompok yang dekat dengannya. Kiai Ayip sebagaimana ayahnya, Kiai Dulah, merupakan orang yang menjadi tempat peraduan masyarakat dari penindasan dari beragam hal.

 

Misalnya saja, pada medio 2005, masyarakat di dekat Pondok Buntet Pesantren terdampak akibat galian C yang masih saja dilakukan. Mereka pun mengadukan hal itu kepada KH Abdullah Abbas yang saat itu menjadi Sesepuh Pondok Buntet Pesantren. Putranya, Kiai Ayip, pun bersuara lantang menentang penggalian tersebut. Pasalnya, warga sekitar mengeluhkan kelangkaan air akibat masih penambangan yang dilakukan terus-menerus. Sumur warga mengering.

 

Ngemong Geng Motor dan Anak Yatim

Kiai Ayip juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mampu merangkul pemuda yang tergabung dalam geng motor. Kelompok yang terkesan garang di jalanan itu mengikuti ajakannya untuk bershalawat. Bahkan, geng motor dari Kota Cirebon itu pernah berangkat bersama Walikota Cirebon, Nasruddin Azis. Mereka berangkat dari Gedung British American Tobacco (BAT), gedung tua yang berada di Jalan Pasuketan, menuju kediaman Kiai Ayip di Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

 

Para pemuda dengan pakaian ala geng motor pada umumnya itu larut dalam shalawat bersama kiai yang pernah menempuh studi di Lucknow, Uttar Pradesh, India di bawah bimbingan Syekh Abul Hasan Ali Hasani An-Nadwi, seorang ulama tersohor dari Negeri Bollywood pada abad 20. Tidak hanya di satu tempat. Mereka mengikutinya di berbagai tempat dan dijalani dengan sekaligus memberikan santunan kepada anak-anak yatim. Karenanya, KH Mustahdi Abdullah Abbas, adiknya, menuturkan bahwa haulnya yang diperingati pada Ahad (7/3) ini di kediamannya, juga akan dilakukan dengan memberikan santunan kepada anak-anak yatim.

 

Dalam obituarinya di Alif.id, Fathi Royani menulis bahwa dirinya bertemu dengan seseorang yang pernah dibebaskan dari tahanan oleh Kiai Ayip. Penahanan itu dilakukan karena memobilisasi petani untuk menolak Taman Nasional. Kiai Ayip datang memberikan jaminan bagi mereka kepada polisi.

 

"Ini anak-anak saya, tolong lepaskan, saya yang bertanggung jawab dan menjamin,” kata Kiai Ayip, sebagaimana ditulis Fathi.

 

Sejak itulah, ia mulai mengenal Kiai Ayip. Sebelumnya, ia tidak kenal sama sekali. Orang tersebut pun rutin mengikuti Majelis Shalawat yang diampu Kiai Ayip.

 

Dalam perjalanannya, Kiai Ayip, katanya, kecewa terhadap dirinya karena masuk partai. "Kamu sudah nggak kuat lapar? Nggak kuat miskin?" kata Kiai Ayip dengan bahasa Cirebon yang khas dan gayanya yang ceplas-ceplos.

 

Inspirasi Kiai Dulah

Perjuangannya dalam ngemong 'wong cilik' itu tidak lain salah satunya terinspirasi dari sosok ayahnya, yakni KH Abdullah Abbas. Kiai Dulah pernah menyampaikan satu dawuh yang begitu membekas tidak hanya bagi Kiai Ayip, tetapi juga banyak orang lain. Dawuhnya ini berulang kali dibuat meme dan menyebar ke mana-mana. Berikut dawuhnya.

 

"Belum tentu shalatmu, puasamu, hajimu yang membuatmu masuk surga. Bisa jadi, dengan ngeladeni wong cilik yang akan mengantarmu ke surga."

 

Dawuh tersebut tidak berarti kita tidak perlu melaksanakan rukun Islam itu. Tentu saja shalat, puasa, zakat, dan haji harus tetap dilakukan. Tetapi, menunaikan kewajiban-kewajiban itu tidak serta-merta membuat pelakunya otomatis masuk surga. Tak sedikit orang yang diceritakan masuk surga gegara hal kecil, misalnya pelacur yang masuk surga karena memberi minum air kepada seekor anjing. Melayani masyarakat, terlebih mereka yang tengah mengalami banyak kesulitan, memungkinkan jalan ke surga semakin terbuka.

 

Saya jadi teringat dengan Al-Qur’an surat al-Balad ayat 11-16. Allah Swt. mengingatkan hamba-Nya untuk berbagi kepada orang-orang yang sedang tertimpa kesulitan, kesusahan, kelaparan, anak yatim yang memiliki kedekatan dengan kita dan orang-orang fakir miskin.

 

 fala (i)qtahama al-aqabah, wa maa adraka ma al-aqabah, fakku raqabah, aw ith’amun fii yaumin dzi masghabah, yatiman dza maqrabah, aw miskinan dza matrabah.

 

Allah SW menyatakan dengan terang-terangan bahwa anjuran yang sudah disampaikan di atas itu adalah juga sebuah rintangan. Dia menggunakan kata aqabah pada ayat 11-12, falaa (i)qtahama al-aqabah (11) wa maa adraka ma al-aqabah (12), yang pada asalnya bermakna jalan yang sulit di gunung untuk melewatinya. Begitu Imam Ahmad As-Shawi memberikan penjelasan pada kata tersebut dalam kitabnya, Hasyiyah Al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain. Hal ini hampir senada dengan KH Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya, Al-Munawwir. Kata aqabah di sana diartikan sebagai jalan di atas bukit dan halangan atau rintangan.

 

Pertanyaannya, setelah membaca keterangan di atas adalah mengapa hal tersebut (berbagi dst.) dianggap sebagai rintangan? Imam al-Shawi menetapkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari mujahadatu an-nafs, jihad melawan diri sendiri dalam melakukan perkara-perkara ketaatan dan meninggalkan yang diharamkan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda setelah memenangi perang, bahwa perang besar yang sesungguhnya baru akan dimulai, yakni perang melawan kehendak sendiri.

 

Ngeladeni wong cilik merupakan ibadah yang tidak dirasakan oleh sendiri, melainkan juga manfaatnya dinikmati orang lain. Hal ini menjadi bagian dari ith’am sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas. Ith’am tidak saja dalam bentuk materi dengan memberikan makanan ataupun santunan. Pendampingan secara terus-menerus kepada mereka juga menjadi satu hal yang tidak bisa kita nafikan begitu saja.

 

Untuk KH Abdullah Abbas dan KH Ayip Abdullah Abbas, Al-Fatihah!

 

Penulis adalah alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon.