Fragmen

Guru Mansur, Ahli Falak dari Jembatan Lima

Kam, 10 Juni 2021 | 21:00 WIB

Guru Mansur, Ahli Falak dari Jembatan Lima

Guru Mansur tersohor sebagai ahli Falak. Karyanya Sullamun Nayirain yang berisi tentang ketentuan dan mekanisme dalam penetapan awal bulan berdasarkan ru’yatul hilal, menjadi karya yang sangat fenomenal.

Siapa yang tidak kenal ulama ahli Falak asal Jakarta. Dia tidak lain Guru Muhammad Mansur Jembatan Lima, Jakarta Barat. Guru Mansur adalah salah satu paku Jakarta di awal abad 20. Ia dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima pada 1878 M. Ia tidak lain adalah keturunan Tumenggung Mataram Pangeran Cakra Jaya.


Bapak Guru Mansur ialah Guru H Abdul Hamid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Cakra Jaya. Mansur kecil belajar agama di bawah bimbingan bapaknya. Guru Mansur juga mengaji kepada kakaknya Guru H Mahbub bin H Abdul Hamid dan sepupunya Guru H Thabrani bin Abdul Mughni. Di samping itu, ia juga berguru kepada Guru H Mujtaba bin Ahmad, Jatinegara.


Setelah puas mengaji d Jakarta, Guru Mansur berangkat haji menuju Mekkah. Sampai di sana, ia bermukim selama empat tahun. Di Mekkah ini, ia juga berjumpa dengan santri dari pelbagai pelosok Nusantara seperti pendiri NU Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy‘ari, KHR Asnawi Kudus, dan Syekh Mahfud Tremas, dan santri lainnya.


Di tanah suci ini, ia mengaji kepada sejumlah ulama besar. Mereka antara lain adalah Syekh Said Al-Yamani, Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Umar Bajunaid Al-Hadhrami.


Sepulang dari Mekkah, Guru Mansur ikut mengajar di kampung halamannya, Kampung Sawah. Ia mendapat ijazah dari gurunya untuk mengajar Al-Quran dan ilmu keislaman lainnya. Bahkan ia mengajar Al-Quran dengan qira’ah Hafash, Abu Amr, dan Warasy.


Selain itu, Guru Mansur tersohor sebagai ahli Falak. Karyanya Sullamun Nayirain yang berisi tentang ketentuan dan mekanisme dalam penetapan awal bulan berdasarkan ru’yatul hilal, menjadi karya yang sangat fenomenal. Karyanya itu hingga kini masih menjadi panduan para muridnya yang tersebar terutama di Jakarta Timur dan juga Jakarta Barat dalam menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawwal.


Karena kebutuhan masyarakat, Guru Mansur juga mengajar di sejumlah titik. Ia mengajar di kawasan Cikini, Kenari, dan lainnya. Pada 1907 ia dipercaya untuk mengajar di perguruan Jami’atul Khair Tanah Abang. Di perguruan ini, Guru Mansur berjumpa dengan pengusung Islam modern seperti pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, salah satu tokoh pembaharu dalam bidang pendidikan Syekh Ahmad Syoorkati.


Guru Mansur istiqamah mengajar. Murid-muridnya datang dari pelbagai daerah di Nusantara. Mereka datang dari Madura, Tasikmalaya, Lampung, dan juga sudut-sudut Jakarta. Murid-muridnya di Jakarta yang tumbuh di bawah didikannya antara lain Guru Muhammad yang kemudian diangkat sebagai menantu, Guru Muhammad Amin (Kalibata), Muallim H Raji’un, dan ahli Falak terkemuka Guru H Muhajirin Amsar (Bekasi).


Guru Mansur dikenal gigih melawan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Ketika tata kota pemerintah kolonial Belanda yang didukung pengadilan agama pada 1925 menghendaki penggusuran masjid Cikini di Raden Saleh, Guru Mansur berdiri terdepan menolak rencana tersebut. Atas perlawanannya, rencana penggusuran masjid diurungkan.


Pada 1948 ketika Jakarta berada di bawah pendudukan tentara Agresi Belanda bersama pasukan NICA, Guru Mansur seringkali bermasalah dengan polsek Gambir ketika itu. Pasalnya, Guru Mansur secara politis mendukung pemerintahan RI dan aktivis pergerakan republiken yang ketika itu beribu kota di Yogyakarta. Ia tidak segan-segan mengibarkan bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah.


Antek Belanda pernah membujuk Guru Mansur dengan setumpuk uang agar mengubah sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda dan sebaliknya agar menuruti keinginan Belanda. Bujukan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Guru Mansur dan berkata dengan lantang, “Islam tidak mau ditindas. Saya enggak mau ngelonin kebatilan.” 9Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi seperti dikutip Fadhli HS).


Di era pergerakan, Guru Mansur bersinggungan dengan banyak aktivis Islam seperti Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Syoorkati, HOS Cokroaminoto, H Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, dan KH Mas Mansur.


Untuk mempertahankan kebenaran dan kecintaan pada ilmu, Guru Mansur dikenal orang yang teguh mempertahankan pendiriannya. “Pada pertemuan-pertemuan NU, Guru Mansur sering berbicara. Suaranya keras. Sikapnya pun tegas dalam suatu persoalan.” (Wawancara dengan KH Hasbullah [1928-2016] Pondok Pinang).


Di tengah aktivitasnya mengajar, Guru Mansur juga terlibat dalam gerakan NU. Ia pernah diamanahkan sebagai Rais Syuriyah Konsul DKI Jakarta. Pada 1928 ia pernah mengikuti Muktamar NU di Jawa Timur. ia kemudian mendirikan madrasah bernama Nahdlatul Ulama pada 1930. Sekolah ini kemudian berganti nama pada 1951 menjadi Chairiyah Mansuriyah.


Guru Mansur meninggalkan banyak karya yang mencakup pelbagai disiplin ilmu selain Sullamun Nayirain. Ia wafat pada Jumat, 19 Mei 1967. Ia dikebumikan di kompleks masjid Al-Mansur jalan Sawah Lio Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Ilmu Falak Guru Mansur hingga kini dimanfaatkan oleh muridnya di Jakarta Timur, Jakarta Utara. (Alhafiz Kurniawan)