Fragmen

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Sesalkan Adanya Penghina Nabi Muhammad

Sen, 18 November 2019 | 11:00 WIB

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Sesalkan Adanya Penghina Nabi Muhammad

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari (NU Online)

Usianya yang hampir menginjak 70 tahun pada 5 Desember 1940 tidak membuat KH Hasyim Asy’ari melepaskan diri dari problem-problem kebangsaan dan keagamaan di tanah air. Apalagi saat itu bangsa Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Mereka tidak hanya mengeksplorasi sumberdaya alam, tetapi juga memperlakukan masyarakat secara tidak manusiawi dan terus menekan serta membatasi gerak-gerik para tokoh Islam, terutama di pondok pesantren.

Sebagai sebuah pemerintahan, Hindia-Belanda mendapat sorotan terhadap kondisi menyimpang warganya karena mereka juga memberlakukan perundang-undangan. Sejak 1918, penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW kerap terjadi di media cetak dan mimbar-mimbar pidato. Sebagai tokoh yang turut bertanggung jawab atas keteguhan akidah masyarakat, KH Hasyim Asy’ari tidak tinggal diam.

Karena kasus tersebut telah mengakar lama hingga akhir 1940, KH Hasyim Asy’ari dalam kesempatan Muktamar ke-15 Nahdlatul Ulama di Surabaya yang berlangsung 9-15 Desember 1940 (10-15 Dzulqo’dah 1359) menyampaikan ketegasannya terhadap para penghina Nabi. Walau demikian, secara regulasi pemerintahan tidak serta KH Hasyim Asy’ari bertindak sendiri, tetapi tetap melalui saluran pemerintahan yang tidak lain ialah Kolonial Belanda.

Dengan menuntut ketegasan Pemerintah Hindia-Belanda, secara tidak langsung ulama pesantren ingin menunjukkan bahwa pemerintahan tidak dijalankan dengan baik dan adil karena para penghina Nabi bertebaran di media cetak dan mimbar-mimbar sehingga memunculkan gejolak akidah di tengah masyarakat. Kiai Hasyim Asy’ari melontarkan seruan ketika menyampaikan khutbah iftitah dalam Muktamar ke-15 tahun 1940 di Surabaya.

Dalam salah satu penggalan khutbahnya, Kiai Hasyim Asy’ari berkata: “Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT. Berulangkali melalui media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kami sudah mendesak kepada pemerintah (Hindia-Belanda) agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan dari mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi, teriakan kita itu hilang lenyap bagaikan teriakan di padang pasir. Maka sekarang tidak ada jalan lain, kita langsung memohon kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pendengar dari pemohon segenap hamba-Nya.” (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 206)

Seruan nan tegas dari KH Hasyim Asy’ari tersebut bukan tanpa alasan, karena pada masanya, akidah masyarakat Islam saat itu perlu dikuatkan karena rentan goyah apalagi dalam kondisi terjajah, paceklik, kelaparan, dan didera kemiskinan. Di sisi lain, sejumlah kelompok terus melancarkan propaganda pelemahan akidah di berbagai media cetak dan mimbar-mimbar yang secara tidak langsung mempengaruhi perjuangan umat Islam untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.

Perjuangan yang dilakukan untuk meneguhkan akidah umat tidak hanya dilakukan KH Hasyim Asy’ari demi kepentingan Islam, tetapi juga untuk kepentingan bangsa Indonesia secara umum yang masih dalam kondisi terjajah. Artinya, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan langkah strategis dengan mengokohkan kekuatan umat Islam untuk melawan berbagai bentuk kolonialisme di tanah air.

Hal itu terlihat ketika KH Hasyim Asy’ari mencetuskan Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 ketika peperangan dahsyat melawan Sekutu (Inggris) yang dibonceng NICA (Belanda) meletus di Surabaya dan daerah-daerah lain seperti Semarang, Ambarawa, Magelang, Jakarta, Bandung, Medan, dan lain-lain.

Persatuan, baik dalam lingkup umat Islam dan umat manusia akan mewujudkan kekuatan tak tertandingi. Namun, kekuatan tersebut juga harus disertai ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang luas sehingga selaras dengan ajaran atau syariat Islam. Prinsip-prinsip inilah yang terus dipegang oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari. Nilai-nilai universal Islam menjadi sesuatu yang fundamental dalam melakukan setiap perjuangan.

Kiai Hasyim Asy’ari beberapa kali melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah yang ia kemas dengan spirit ajaran Islam. Dalam konteks melakukan perlawanan terhadap penjajah, Kiai Hasyim Asy’ari tidak segan-segan mengeluarkan fatwa haram bagi santri yang pakaiannya menyerupai penjajah Belanda. Tentu saja fatwa tersebut tidak bisa digunakan di setiap zaman sebab konteks fatwa itu untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.

Kabar-kabar penting terkait perjuangan dan pergerakan nasional selalu Kiai Hasyim Asy’ari sampaikan melalui utusan  dan surat tertulis. Kabar yang disampaikan tidak jarang berisi pesan berharga kepada kiai-kiai pesantren di Jawa dan Madura terkait strategi dalam menghadapi penjajah.

Tercatat ialah Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Abdullah Ubaid, dan Muhammad Ilyas merupakan kiai-kiai muda yang tidak asing namanya di kalangan pesantren. Mereka merupakan ‘kurir-kurir’ KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah untuk membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren terkait kepentingan agama, bangsa, dan negara.

Di antara pesan yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari kepada para ulama pesantren di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah:

“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa.” (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)

Selain terus berupaya memperkokoh jam’iyah dan jamaah NU, Kiai Hasyim Asy’ari juga selalu mendorong persatuan umat Islam yang kala itu telah terwadahi di berbagai ormas Islam. Sebab, sengketa dan perselisihan dipastikan terjadi. Jangankan perbedaan pendapat di antara berbagai macam ormas Islam, dalam wadah satu organisasi pun tidak jarang perbedaan pendapat muncul dan berkembang.

Dalam kondisi berselisih, penjajah mudah dalam mempengaruhi masyarakat. Hal ini dipandang sebagai kerugian besar secara sosial dan moral karena justru akan menjadikan eksistensi penjajah semakin kuat. Dari pintu ke pintu dan dari utusan ke utusan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak pernah lelah menggelorakan persatuan bangsa dan persatuan umat Islam.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi