Fragmen

Hubungan Syuriyah dan Tanfidziyah NU

Sab, 17 Februari 2018 | 08:00 WIB

Di dalam struktur kepengurusan NU, syuriyah menempati posisi paling utama. Pada awal berdiri, yang justru dikenal publik adalah para syuriyah itu. Untuk Rais ‘Aam Syuriyah PBNU pertama disebut Rais Akbar. Sebuah istilah yang tidak pernah digunakan lagi pada masa-masa selanjutnya. Khusus untuk Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.   

Bahkan, hingga Muktamar NU kedelapan di Jakarta, 1933, tidak ada rapat khusus tanfidziyah meski saat itu telah ada kepengurusannya. Barulah di Muktamar NU setahun kemudian, di Banyuwangi, ada rapat tanfidziyah secara khusus. 

Choirul Anam menyebut sejak muktamar kesembilan itu sebagai masa perkembangan NU, untuk membedakan dengan periode sebelumnya, masa pertumbuhan. 

Untuk menjelaskan posisi syuriyah dan tanfidziyah itu kepada orang awam, pers NU, misalnya Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) menyebut dengan sederhana, NU bagian ulama dan bukan ulama. Ternyata hal itu disebutkan juga pada statuten NU setelah diresmikan sebgai organisasi sah di Hindia Belanda pada tahun 1930. 

Pada statuten itu, yakni pasal pasal 4 mengatakan, yang boleh menjadi anggotanya ini perkumpulan hanya orang yang beragama Islam yang bermazhab sebagai tersebut dalam pasal 2. Mereka dibedakan menjadi: a. anggota guru agama (ulama) dan b, anggota bukan guru agama. 

Menurut Presiden Hoopd Bestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang istilahnya Ketua Umuma PBNU) Mahfud Shiddiq, syuriyah berarti ruh, sedangkan tanfidziyah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dari NU. 

Tanfidziyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengatahuan syuriyah. Hal ini sepertinya ditegaskan mengingat NU didirikan para ulama.

Kata Kiai Mahfud, NU tidak boleh menelantarkan bagian ruh dan juga bagian jasmani. Kedua bagian itu sama-sama pentingnya. Nah, dalam bergerak, kedua bagian ini tidak boleh sekal-kali melanggar aturan agama. Di dalam kerjanya, syuriyah jangan melemahkan tanfdziyah, begitu juga sebaliknya, tanfidziyah jangan sampai memadarati syuriyah. 

Karena itulah NU pada awal berdiri membuat peraturan pada pasal ayat 3 menyebutkan: “Sesuatu departemen tidak boleh menjalankan suatu aturan (usaha) bahasa sebelum dimintakan fatwa hukumnya syuriyah alg zaken.” (Abdullah Alawi)