Fragmen

Impian Gus Dur Membangun Poros China-India

Kam, 8 Juni 2017 | 13:00 WIB

Sebagai kepala negara kala itu, KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) memiliki kecerdasan membaca peta geo-politik dan geo-strategis internasional. Langkah-langkah Gus Dur tidak mudah ditebak. Manuver Gus Dur terkadang membingungkan lawan politik maupun analis. Namun, gerak cepat Gus Dur sangat jitu.

Langkah politik Gus Dur yang tidak mudah dibaca ini, sering dianggap kontroversial. Padahal, Gus Dur memiliki perhitungan sangat matang dalam setiap gerak politiknya. Gus Dur juga menganalisa dengan beragam pengalaman serta endapan bacaan yang dikuasai.

Membaca peta ekonomi dunia, Gus Dur melihat geliat pertumbuhan China dan India yang massif. Kedua negara ini, memiliki penduduk besar dengan sumber daya yang terus meningkat kualitasnya. Peneliti dan dosen dari China dan India banyak yang berkiprah sebagai profesor di beberapa kampus bergengsi di Amerika dan Eropa. Selain itu, pasar domestik yang terus tumbuh dan demografi yang sedemikian besar, menjadi peluang ekonomi serta kekuatan politik.

Gus Dur konsisten dengan prinsip ekonominya, ia mendapat tekanan keras dari IMF. Meski demikian, Gus Dur tidak patah arang, ia tetap konsisten dengan gagasan dan kebijakan yang pro-rakyat. Gus Dur melawan IMF dengan membangun poros Jakarta-Beijing -New Delhi. Membangun poros ini, Gus Dur dengan sadar memainkan jurus diplomasi untuk merebut pasar dunia.

Selain itu, Gus Dur tidak bersedia menjual aset-aset potensial, serta perusahaan yang membawa bendera Indonesia. Semisal: Texmaco, yang memiliki utang segunung. Gus Dur tidak bersedia melikuidasi dan menjualnya kepada investor asing. Gus Dur ingin agar perusahaan-perusahaan dapat mengibarkan bendera Indonesia, dengan kekuatan ekonomi dan sumber daya.

Hingga Gus Dur dimakzulkan DPR, IMF tidak bersedia mencairkan pinjaman ke kabinet persatuan Gus Dur-Mega. Gus Dur memang sejak awal tidak ingin utang Indonesia semakin menumpuk, hingga tidak memiliki kebebasan politik dan kedaulatan diplomasi di dunia internasional. Menumpuk utang, hanya akan menjadikan Indonesia semakin terpuruk.

Sebaliknya, pada era kepemimpinan Megawati, IMF dengan mudah mencairkan pinjaman. Apakah pinjaman ini gratis? Tentu saja tidak. IMF meminta kompensasi berupa kepatuhan, dalam program-program penjualan aset negara. Satu demi satu, aset-aset negara yang potensial berpindah ke tangan penguasa dan investor asing (Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, 2008).

Politik luar negeri Indonesia, pada masa Gus Dur berpijak pada tiga prinsip. Melalui Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Gus Dur mengintrodusir tiga elemen kunci politik luar negeri. Pertama, menjaga jarak dengan semua negara. Kedua, hidup bertetangga yang baik, dan ketiga, "kebajikan universal". Tiga poin inilah yang menjadi panduan diplomasi politik internasional Indonesia, pada masa pemerintahan Gus Dur (Budiarto Shambazy, Politik Luar Negeri Gus Dur, 2010).

Di tengah situasi politik yang memanas, Gus Dur menggelar konferensi internasional yang dihadiri belasan kepala negara. Akhir Mei 2001, diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15, di Jakarta Convention Center. G-15 merupakan forum informal negara-negara sedang berkembang dengan tujuan melakuan dialog-dialog dengan negara maju (G-8). Penyebutan G-15 merujuk pada jumlah negara yang bergabung pada awalnya. Namun, di kemudian hari beberapa negara berkembang ikut serta.

Di sesela KTT G-15 itu, diselenggarakan pula Indonesian International Telecommunication and Information Technology (IITELMIT). Memperindag Luhut Binsar Pandjaitan mempersiapkan agenda ini, sekaligus membuka acara. IITLEMIT mempertemukan sejumlah perusahaan IT, serta menghadirkan menteri-menteri di bidang IT anggota G-15. Jelas, Gus Dur memiliki proyeksi pengembangan teknologi untuk menopang ekonomi negara-negara berkembang.

Gus Dur juga mengundang menteri IT dari India dan China ke istana negara untuk ngobrol. Seperti biasa, Gus Dur menyapa ramah tamu-tamunya dan menyajikan humor-humor segar yang membuat tamunya terpingkal-pingkal. Setelah akrab, Gus Dur melempar diskusi serius, menyodorkan impiannya, sebagaimana dikisahkan Adhie M Massardi (Gus Dur dan Poros Impian, 2014).   

"Sesungguhnya, kita bertiga ini mewakili tiga negara yang kalau ditotal penduduknya, hampir setengah penghuni dunia," ungkap Gus Dur. Sontak saja, pejabat dari China dan India terperanjat.

"Kalau kita kompak, kita bisa menguasai paling tidak setengah pasar dunia atas produk IT kita. Jadi, kalau RRC yang kuat di sektor hardware dan India yang canggih di bidang software, serta Indonesia dapat membantu di kedua sektor itu bersatu, kita bisa melahirkan produk IT yang berkualitas dan menguasai pasar dunia," terang Gus Dur.

Gus Dur telah lama bermimpi membangun poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Dalam bayangan Gus Dur, poros inilah yang mampu menahan gempuran serta dominasi Amerika Serikat-Eropa dalam beberapa bidang. Jika Indonesia, China dan India bersatu, maka akan membentuk sinergi yang hebat dalam bidang politik, keamanan dan ekonomi. Impian yang sekarang terbukti kebeneran pengaruh strategisnya.

Munawir Aziz, Peneliti Islam dan Kebangsaan.