Fragmen

Jakarta Menurut Ulama Betawi (2)

Sen, 22 Juni 2020 | 06:45 WIB

Jakarta Menurut Ulama Betawi (2)

Keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi yang tinggi mereka terhadap kaum pendatang. Hal ini sudah terjadi sejak beratus-ratus tahun yang lalu hingga kini.

KH Abdurrahim Radjiun dan Jakarta yang Qurani

Di masyarakat Muslim Jakarta, khususnya masyarakat Betawi, tradisi-tradisi Islam yang mencerminkan nilai persaudaraan, yaitu akeke (aqiqah), sunatan, khatam Al-Qur’an, menikah, bikin dan pindahan rumah, nuju bulan, kaulan (nazar), hantaran menjelang Ramadhan, kunjungan pada saat Idul Fithri, dan lain-lain sampai saat ini masih tetap eksis.


Begitu pula dengan tradisi keislaman yang menjadi pengingat dan penguat nilai-nilai kemanusiaan, seperti yasinan, pengajian di halaqah dan majelis takim, zikir akbar, maulid Nabi SAW, muharraman, rajaban, dan lain-lain.


Namun, menurut KH Abdurrahim Radjiun, ulama sufi Betawi terkemuka, sumber dan penguat utama tradisi-tradisi Islam, khususnya di Betawi tersebut, tidak lain adalah Al-Qur`an. Dengan kata lain, tradisi-tradisi tersebut tidak akan dapat, gagal, menjadi filter kebudayaan Barat yang merusak dan amoral jika tidak bersumber dan tidak dikuatkan dengan Al-Qur`an.


Al-Qur`an ini memiliki posisi strategis bagi pembangunan mental spiritual masyarakat Jakarta yang mayoritas beragama Islam sejak dini dan menjadi kekuatan menghadapi gempuran budaya Barat yang liberal dan amoral. Al-Qur’an juga menjaga masyarakat dari pengaruh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.


Menurutnya, saat ini (ketika beliau menulis pendapatnya ini pada tahun 2007), kondisi umat Islam, khususnya di Jakarta, layaknya seperti buih di lautan: jumlahnya banyak, tapi tidak memliki kekuatan. Banyak, tapi tidak bersatu, terpecah belah, berkelompok-kelompok. Masing-masing kelompok memiliki agenda, peran dan gayanya sendiri. Baginya, kondisi ini bukan harus diratapi, tetapi harus diambil hikmahnya dengan menjadikan banyaknya paham dan kelompok dalam tubuh umat Islam sebagai sebuah mozaik yang berwarna warni dan indah dipandang: how colourful the rainbow of Islam!


Sumber warna warni yang membuat indah ini, yang merekatkan perbedaan, menurutnya, tidak lain adalah Al-Qur`an. Semua tentu sepakat Al-Qur`an sebagai sumber utama ajaran Islam, menjadi imam yang harus diikuti. Namun pada kenyataannya sebagian alim ulama dan para pemimpin umat, tanpa disadari, menjauhkan umat dari imamnya, dari Al-Quran.


Lihatlah umat agama lain: dari pemimipin agamanya sampai jamaahnya membawa kitab sucinya yang sama di saat melakukan pembinaan agama. Tetapi, sebagaian alim ulama dan pemimpin umat Islam ketika memberikan pengajian, tidak Al-Qur`an dulu yang dibacakan, dikaji, diperdalam dan dipahami; tetapi langsung kepada kitab-kitab dan buku-buku yang umat tidak memilkinya dan belum mampu membacanya dalam bahasa Arab.


Alim ulama dan para pemimpin umat Islam seharusnya menjadi pihak pertama yang paling meyakini dan membuktikan Al-Quran sebagai imam yang harus diikuti karena merupakan petunjuk, penjelas dan obat atau solusi utama bagi penyakit dan persoalan-persoalan umat manusia. Keyakinan dan pembuktian ini yang sekarang kurang dirasakan oleh umat sehingga sebagian umat Islam menjadi ragu untuk menjadikan Al-Quran sebagai imam, petunjuk, penjelas dan obat atau solusi utama. 


Akibat dari jauhnya umat dari kepemimpinan Al-Qur`an, khususnya di Jakarta, maka timbul tiga krisis, yaitu: pertama, krisis kepemimpinan yang Qurani. Krisis ini telah memberi saham besar bagi keterpurukan kaum muslimin pada polikultural di berbagai lini, nyaris belum terdengar lagi suara hati seorang pemimpin yang berani, jujur dan sekaligus teduh, untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan umat.


Di tanah air, sederet panjang keluh umat mengenai torehan dan manuver sebagian para pemimpin yang repot merajut kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, telah menjadikan ukhuwah Islamiah sebagai barang langka yang sulit ditemukan. Perbedaan pendapat internal, yang oleh Rasulullah SAW dijadikan formula untuk mengundang rahmat Allah SWT, kini telah menjadi condition sine qua non, syarat mutlak yang tidak dapat dielakkan untuk mencapai tujuan, meskipun harus menghadapi risiko perpecahan dan terpecahnya persatuan. Namun kita masih patut bersyukur karena masih ada alim ulama dan orang-orang saleh yang menyimpan nurani jernih untuk keselamatan umat walau jumlah dan keberadaan mereka hanya bagai selembar benang hitam pada hamparan karpet merah.


KH Saifuddin Amsir: Jadikan Habib Utsman bin Yahya sebagai Panutan!

Pada tahun 2011, saat Abuya KH Saifuddin Amsir menuliskan makalahnya yang berjudul Budaya Betawi: Refleksi Ajaran-Ajaran Islam Sejati, yang menjadi pandangannya pada tulisan saya ini, ia menyatakan bahwa ada sekitar 27,65 % orang Betawi yang tinggal di Jakarta atau bahkan kurang dari seluruh populasi Jakarta.


Menurutnya, keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi yang tinggi mereka terhadap kaum pendatang. Hal ini sudah terjadi sejak beratus-ratus tahun yang lalu hingga kini. Keterbukaan ini pun membuat kebudayaan Betawi menjadi semakin semarak dengan masuknya unsur-unsur budaya kaum pendatang yang berasimilasi dengan kebudayaan Betawi sendiri.


Keterbukaan ini membuat masyarakat Betawi tidak menutup diri terhadap kemajuan dan perkembangan kebudayaan dunia. Tetapi, tentunya hal ini bukan berarti mereka menerima begitu saja kebudayaan yang dibawa para pendatang itu. Mereka juga mengkritisi kebudayaan itu sebelum mereka terima dalam keseharian mereka. Jika orang Betawi yang selalu dikaitkan dan dikenal keislamannya berkurang dalam arti kuantitas personel dan kualitas keagamaannya, maka ini juga mempengaruhi nuansa keislaman di Jakarta.


Lalu apa dan bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh agar nuansa dan tradisi Islam tetap terjaga di masyarakat Betawi khususnya, Jakarta dan sekitarnya pada umumnya? Menurutnya, hal ini merupakan tantangan yang harus diemban dan ditempuh oleh para tokoh dan ulama Betawi, pemerintah, pakar, budayawan, pendidik, dan masyarakat Betawi secara keseluruhan.


Menurutnya, nilai kebetawian merupakan gagasan ideal masyarakat terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, nilai kebetawian ini dapat pula dimanfaatkan masyarakat Betawi untuk menghadapi derasnya arus budaya global yang membanjiri masyarakat Jakarta melalui berbagai macam media.


Sistem halaqah atau majelis taklim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi. Sistem ini merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di Betawi.


Berbagai macam tradisi yang sudah mendarah daging dengan masyarakat Betawi sebaiknya tetap terselenggara secara terus-menerus dengan melibatkan semua elemen termasuk di dalamnya remaja dan anak-anak dengan: Menjadikan pendapat-pendapat Habib Utsman bin Yahya sebagai filternya. Hal ini dikarenakan pendapat-pendapat Habib Utsman merupakan pendapat yang legal formal pertama, yang menjadi produk hukum positif kala itu yang bahkan diakui Belanda, yang berlaku khususnya bagi masyarakat Betawi dan tetap relevan sampai saat ini.


Kiai Saifuddin Amsir berharap, semoga budaya Betawi masih bisa dilestarikan, tetapi tidak sebatas dilestarikan secara seremonial saja seperti pada acara abang-none Jakarta yang selalu diadakan setiap tahun.


Dengan mempertahankan kultur Betawi yang penuh dengan nilai moral Islami; didukung dengan berderetnya orang Betawi di jajaran Pemprov DKI Jakarta agar turut serta membangun Jakarta dengan etos kerja dan dengan kebijakan yang tepat bagi daerah dan masyarakatnya; serta ditunjang dengan keahlian dan kualitas ekonomi; maka Betawi akan terus eksis dan mengakar di masyarakat. Tidak hanya terus menjadi ‘korban’ asimilasi dan akulturasi pendatang. Karena kehilangan Betawi sama artinya dengan kehilangan Islam di Jakarta. (selesai…)


Penulis: Rakhmad Zailani Kiki

Editor: Alhafiz Kurniawan