Fragmen

Jejak Perjuangan Ulama Nusantara Menumpas Penjajah

Jum, 17 Agustus 2018 | 22:30 WIB

Jejak Perjuangan Ulama Nusantara Menumpas Penjajah

Ilustrasi: KH Hasyim Asy'ari ditemui serdadu Nippon

Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran dan jasa para ulama, selain para nasionalis dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Namun, sejarah mencatat bahwa pergerakan ulama sebagai panutan masyarakatnya kerap membuat penjajah ketir-ketir karena merasa terancam eksistensinya. Terlebih ketika mereka mendirikan perkumpulan atau organisasi dan pondok pesantren.

Untuk misi spionase terhadap para ulama dan umat Islam, Belanda mengangkat orang-orang tertentu. Yang paling terkenal ialah seorang bernama Snouck Hurgronje yang ditetapkan Belanda untuk mengikuti setiap pergerakan para ulama dan umat Islam. Atas misi dan pekerjaan intelnya ini, Snouck seringkali melakukan catatan-catatan penting sebagai informasi yang akan disampaikan kepada pihak Belanda. Sehingga tidak heran, Snouck mempunyai banyak karya tentang Indonesia dari catatan-catatannya itu.

Meskipun ada utusan yang memata-matai, para ulama tidak sedikit pun merasa khawatir bahkan semakin mengonsolidasikan diri mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gambaran perlawanan para ulama terhadap Belanda terlihat ketika Pangeran Diponegoro (1785-1855) berupaya mengusir penjajah dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830), saking besarnya.

Perlawanan yang cukup sengit dan melibatkan banyak kiai terrsebut berakhir cukup pedih. Pangeran Diponegoro yang bergelar Kanjeng Abdul Hamid Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa ing Mataram terjebak tipu muslihat Jenderal De Kock. Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal pada tahun 1855. (Choirul Anam, 1985)

Di Minangkabau terjadi Perang Padri (1821-1837) yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Meski perang ini diketahui sebagai perlawanan Imam Bonjol terhadap kaum adat, tetapi infiltrasi Belanda sangat kental. Sebab, ternyata perang yang berlangsung cukup lama itu berakhir dengan dibuangnya Imam Bonjol oleh kolonial Belanda ke Ambon dan kemudian Manado, hingga akhir hayatnya di tahun 1864.

Begitu pula di Aceh. Pada sekitar tahun 1873-1905 berkobar berbagai perlawanan yang dilakukan oleg Teuku Umar ((1854-1899), Teuku Cik Ditiro (1863-1891), Cut Nyak Dien (1848-1906), dan perlawanan-perlawanan lainnya dari tokoh-tokoh di Aceh seperti Teuku Nyak Arif, Cut Meutia, Keumala Hayati, dan lain-lain.

Di antara keterlibatan Islam paling jelas dalam melawan Belanda dan Portugis terjadi di Maluku. Sultan Ternate III (Khairun) berhasil memukul mundur Portugis di Maluku. Karena tidak sanggup lagi meneruskan peperangan, pihak Portugis kemudian menugaskan Gubernur De Mosquita untuk melakukan negosiasi damai dengan Sultan Khairun.

Permintaan damai tersebut diterima dengan baik oleh Sultan Khairun dengan cara masing-masing mengangkat kitab suci mereka. Sultan Khairun mengangkat Al-Qur’an, sedangkan Mosquita mengangkat Injil.

Watak penjajah tetaplah penjajah, mereka bagai serigala berbulu domba. Ternyata perjanjian tersebut hanya semata-mata untuk menghentikan perang, tidak ada niat sedikit pun bagi kolonial Portugis untuk berdamai. Hal ini terbukti ketika mereka mengundang Sultan Khairun dalam sebuah perjamuan dan bersedia untuk datang. Portugis telah menyiapkan algojo yang bersiap menikam.

Benar saja, ketika Sultan Khairun sedang menikmati jamuan makan, tiba-tiba diserang dari belakang dan ditikam hingga tewas. Sultan Khairun gugur dalam tipu muslihat yang dilakukan oleh Portugis pada tahun 1570.

Begitu juga di Jawa Barat terjadi perlawanan di Cilegon (1888) yang dipimpin oleh Kiai wasith dan Kiai Haji Ismail. Meskpiun setiap perjuangan pahlawan-pahlawan Islam ini berakhir menyedihkan, perlawanan terhadap Belanda di Cilegon ini tergolong beruntung. Tidak sedikit pembesar Belanda yang berhasil ditumpas untuk membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan. Namun di pihak Kiai Wasith dan Kiai Haji Ismail juga banyak korban berjatuhan.

Terkahir dalam tulisan ini ialah perjuangan KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di tanah air dari belajarnya di Makkah, Kiai Hasyim menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.

Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslima yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai. Ia juga yang berjasa membentuk laskar-laskar santri yang siap berhadapan dengan penjajah.

Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.

Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.

Sebab, di masa Agresi Militer Belanda II, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk melawan dan mengusir penjajahan kembali oleh Belanda. Fatwa Mbah Hasyim tersebut menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban agama. (Fathoni)