Fragmen

Kemandirian NU

NU Online  ·  Jumat, 8 Desember 2006 | 08:44 WIB

BERBEDA dengan sekarang, pada masa lalu orang menjadi warga NU dari tingkat ranting sekalipun semuanya terdaftar dengan baik, pertama mereka dibaiat terlebih dulu, baru kemudian mendapatkan kartu angguta NU (rasyidul udlwiyah), yang langsung ditandatangi oleh PBNU, dengan demikian keanggotaannya resmi dan dijalankan dengan serius dan penuh pengabdian

Keseriusan itu dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk mebayar syahriah (iuran bulanan) sebesar 10 sen. Sementara itu masih dikenakan iuran tahunan sebesar 20 sen. Semuanya itu untuk membiayai seluruh kegiatan NU, termasuk untuk Muktamar. Tentu saja sumbangan ekstra dari warga dibutuhkan untuk kegiatan besar itu.

<>

Mereka tidak hanya mau membayar dana, tetapi mereka juga mau mengikuti kegiatan ke-NU-an secara rutin baik yang bersifat brefing, up grading dan sebagainya, termasuk pengajuan rutin dan lailatul ijtima, sehingga mereka tahu dan paham betul persoalan yang harus dikerjakan oleh NU. Tingginya kesadaran ber NU membuat mereka peduli terhadap gerakan NU.

Militansi warga NU dibangun sejak dini sehingga NU bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari manapun, sehingga juga sangat mandiri dalam menentukan sikap, apalagi saat itu masih zaman penjajahan sehingga kemandirian sebagai perwujudan dari sikap politik Nu saat itu yang nonkooperatif terhadap Belanda menjadi sangat penting dan strategis. Dengan demikian seluruh agenda NU bisa dijalankan tanpa ketergantungan pada Belanda dan lain sebagainya, semuanya didanai sendiri.

Begitu juga para Muktamirin, baik itusan resmi maupun pengunjung memberikan dukungan dengan sangat kuat. Ada seorang Muktamirin, yakni Kiai Mu’thi berasal dari Ngawi, ketika berangkat ke Muktamar NU ke 9 di Banyuwangi pada tahun 1934, ditempuh dengan naik sepeda, padahal jaraknya cukup jauh, 467 kilo meter. Bahkan seorang ketua PBNU dari Surabaya ketika menghadiri Muktamar NU di Menes yang jaraknya ribuan kilometer itu ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.

Semuanya itu menunjukkan adanya kesungguhan dan militansi di kalangan warga NU baik kalangan pimpinan maupun anggotanya. Semuanya berdiri di atas kaki sendiri, tidak menggantungkan sumbangan diri pihak lain, terutama dari penjajah Belanda. Kemandirian itulah yang membuat NU besar dan disegani, baik oleh anggota maupun oleh lawan. (Mun’im)