Fragmen

KH Noer Iskandar SQ dalam Kenangan Saya

Ahad, 13 Desember 2020 | 14:30 WIB

KH Noer Iskandar SQ dalam Kenangan Saya

KH Noer Iskandar merupakan salah satu orang penting yang menjadi saksi sejarah di luar aktivitasnya berdakwah. (Foto: Asshiddiqiyyah.com)

Pertama kali saya mengenal baik Kiai Noer Muhammad Iskandar SQ ketika bersama-sama menjadi pengurus koperasi pondok pesantren se-Indonesia pasca-munas RMI PBNU tahun 1996 di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo yang dikenal dengan "Munas Salaman Genggong." Ini forum mempertemukan Gusdur dan Pak Harto yang menandai cairnya ketegangan antara keduanya kala itu.  


Kiai Noer–demikian kami memanggil beliau–menjadi Ketua Induk Koperasi Pondok Pesantren se-Indonesia (Inkopontren). Saya menjadi wakil sekretaris puskopontren  Jawa timur yang diketuai oleh pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Kiai Mutawakkil Alallah, yang menjadi tuan rumah kegiatan Munas RMI PBNU.


Selanjutnya kita sering bertemu dalam upaya pemasaran dua produk kerja sama Inkopontren dan RMI   saat itu berupa mi instan Barokah dan pembalut wanita merk Ramisoft yang konon merupakan singkatan dari RMI Softex. Meskipun pada akhirnya kedua produk ini gagal bertahan di pasaran, namun kegigihan alm Kiai Noer Iskandar telah menginsipirasi banyak gus dan kiai muda tentang wirausaha pesantren.


Pada tahun 1998, Kiai Noer berkenan hadir di pesantren kami memberikan ceramah dalam rangka haul kakek saya KH Anwar Noer Pendiri Pondok Pesantren An-Noer Bululawang Malang. Saat itu sedang heboh-hebohnya pemberitaan media massa tentang percobaan pembunuhan dan penembakan mobil Pajero yang ditumpangi beliau di jalan tol oleh orang  tidak dikenal.


Ketika saya tanya siapa dan kenapa ditembak? Beliau  menyebut satu nama yang pernah mengancamnya karena menolak untuk bergabung membantu partai penguasa dan sikap kritisnya terhadap pemerintah saat itu.


Ketakziman kepada Kiai

Setelah Muktamar NU di Pesantren Lirboyo Kediri tahun 1999 hubungan kami semakin dekat karena guru kami alm KHR Idris Marzuki diangkat menjadi Rais Syuriyah PBNU serta mempunyai kedekatan khusus dengan Presiden Gus Dur sebagai salah satu kiai khas "Forum Langitan". 


Hampir setiap pekan saya mengantar Kiai Idris ke Jakarta untuk ngantor di PBNU atau dipanggil untuk bertemu Gus Dur di istana. Kiai Noer sering membersamai Gus Dur ketika bertemu bersama kiai-kiai.  Kiai Noer sangat akrab dan didengarkan pendapatnya oleh Gus Dur meskipun sering kali terlihat hanya seperti guyon-guyon saja. Saat itu beliau juga menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB.


Sepuluh tahun lamanya sejak  tahun 1999 sampai 2009 di masa Kiai Idris Marzuki diamanahi sebagai Rais Syuriyah PBNU dan Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB ada dua mobil yang paling sering saya pinjam untuk di pakai menjemput Kiai Idris ke bandara dan kegiatan lainnya selama di Jakarta yakni mobil Kiai Noer Muhammad dan mobil Gus Saifullah Yusuf.


Secara khusus Kiai Noer Iskandar memang pernah berpesan kepada saya agar memakai mobil miliknya jika Kiai Idris tiba di Jakarta. Beliau sangat bahagia setiap kali melayani kedatangan Kiai Idris di Jakarta.


Saya melihat kiai Noer memang sangat hormat takzim kepada Kiai Idris sebagai guru dan orang tua yang telah mengasuhnya ketika mondok di Pesantren Lirboyo. Jika Kiai Idris pergi ke Jakarta beliau minta saya selalu memberi kabar dan berusaha menemui atau mengajak menginap di rumahnya.  Melihat begitu cintanya beliau pada Kiai Idris.


Saat Kiai Idris wafat keadaan Kiai Noer sendiri sedang sakit. Saya tidak berani memberi tahu karena menghawatirkan beliau sangat kaget hingga suatu saat beliau sendiri menelpon saya dengan penuh duka  mengkonfirmasi kebenaran berita wafatnya guru kami yang mulia.


Istiqamah dalam Beribadah

Kiai Noer Muhammad Iskandar yang hidup bermukim di kota besar Jakarta menurut saya adalah pribadi kiai yang sangat unik. Meskipun telah sangat sukses membangun pesantren dan berdakwah di Jakarta dan telah hidup berkecukupan bahkan kaya raya, namun beliau tetap saja istiqamah menjalankan puasa sunnah Dawud, yakni sehari berpuasa dan sehari tidak yang telah dilakoninya semenjak puluhan tahun.


Saya juga mengetahui bahwa beliau mempunyai wirid istiqamah setelah tahajud yang cukup panjang di setiap malam. Ketika pemilu presiden pada tahun 2004, saya dan Kiai Noer Muhammad sering diajak mendampingi cawapres alm Kiai Hasyim Muzadi berkampanye keliling Indonesia.


Sering kali saya dan Kiai Noer menginap dalam satu kamar berdua. Di situ saya melihat sendiri bagaimana keistiqamahan Kiai Noer Muhammad. Meskipun dalam perjalanan yang sangat jauh, beliau tetap berpuasa Dawud dan tidak pernah meninggalkan tahajud beserta wiridnya.


Ketika muktamar NU di Makassar tahun 2010, di sela waktu beliau mengajak saya berolahraga dengan berjalan kaki di bawah terik matahari setelah shalat zuhur di area pantai Losari Makassar. Sambil berjalan saya melirik mulut beliau yang tetap bisa komat-kamit membaca sesuatu. Penasaran saya tanya, "Baca apa Kiai?" Beliau menjawab, “Sedang membaca Surat Yasin 50 kali.” 


Kiai Noer yang saya kenal adalah kiai yang ramah, humornya cerdas, hangat bersahabat, dan dermawan  bukan hanya pada saya namun kepada semua orang yang pernah mengenalnya. Saya bangga pernah mengenal dan menjadi sahabatnya sehingga salah satu anak saya, saya beri nama Noer Muhammad seperti nama beliau di samping secara kebetulan kakek buyut kami juga memiliki nama serupa.


Selamat jalan Kiai. Keberanian, kedermawanan, kebaikan hati, dan semua uswah hasanah panjenengan abadi di hati kami.


KH Ahmad Fahrur Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Annoer 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur