Fragmen

Kisah KH Hasyim Asy’ari Bermunajat di Multazam saat Ramadhan

Sab, 30 April 2022 | 06:00 WIB

Kisah KH Hasyim Asy’ari Bermunajat di Multazam saat Ramadhan

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

Walaupun masih mengembara memperdalam ilmu agama di Hijaz, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.


Pertemuan tersebut terjadi pada suatu hari di bulan Ramadhan di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah dan bermunajat di hadapan Multazam, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.


Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah swt demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.


Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)


Perhatian para kiai terhadap bangsanya tak hanya berhenti dalam perjuangan pemikiran dan fisik, tetapi juga menyiapkan dan menempa para generasi muda untuk mencintai bangsanya. Hal ini dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah saat menginisiasi gerakan-gerakan pemuda cinta tanah air melalui Madrasah dan Perguruan Nahdlatul Wathan pada tahun 1916.


Konsep cinta tanah air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda agar bersatu melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.


Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Syubbanul Wathan.

 

Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.


Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan) yang berdiri tahun 1918 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi).

 

Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.


Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang ada saat ini sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut.


Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah merupakan dua ulama pesantren di antara banyak kiai-kiai lain yang aktif dalam pergerakan nasional untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kedalaman ilmu agama menumbuhkan kearifan bangsa. Begitulah sesungguhnya ajaran dan nilai-nilai Islam mampu membawa dan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. (Fathoni)