Fragmen

Komite dan Kursus Hukum NU di Jawa Barat Sejak 1930-an

Sab, 13 Agustus 2022 | 07:03 WIB

Komite dan Kursus Hukum NU di Jawa Barat Sejak 1930-an

Pengadilan di era penjajahan Belanda (ist.)

Belakangan, kasus polisi menembak polisi menemani keseharian masyarakat. Kasus itu menyedot perhatian publik karena menyangkut marwah lembaga penegak keadilan. Tak heran, tiap saat portal berita dan media sosial seolah berlomba, berseliweran menyampaikan perkembangannya dari hari ke hari. Pakar-pakar hukum muncul lebih sering dibanding bintang-bintang film. 

 

Kasus ini semestinya jadi momentum NU dan banom berikut lembaganya mengaktivasi dan memperkuat pemahaman tentang hukum bagi warganya. Pasalnya, kita hidup di negara hukum. Bisa jadi, jika tak mengerti hukum, kita akan terkena hukumannya. 

 

Jika merujuk sejarah awal pertumbuhan NU di Jawa Barat, bidang hukum sebetulnya sudah menjadi perhatian para kiai pada era 1930-an. Tentu saja karena para kiai diajarkan sedari kecil tentang fiqih, yaitu hukum-hukum Islam yang tak hanya melulu mengatur masalah ibadah, tapi kehidupan sosial.  

 

Memahami hukum dan bahasa hukum itu dinilai amat penting oleh NU Cabang Bandung. Karena kalau tidak memahaminya, NU dan anggotanya bisa termakan oleh hukum itu sendiri. Karena itulah, secara bersamaan NU Bandung mengadakan kursus Bahasa Belanda dan Hukum

 

Tak heran jika beberapa Cabang NU saat itu telah memiliki semacam lembaga yang berkonsentrasi dalam bidang hukum. Setidaknya hal itu terjadi di dua Cabang NU, yaitu Bandung dan Tasikmalaya. 

 

NU Bandung melaporkan salah satu aktivitasnya pada Muktamar ke-10 di Surakarta pada 1935. Utusan cabang itu menyebutkan bahwa mereka mengadakan kursus hukum dengan nama Kursus Wet Negeri. Kemungkinan kursus tersebut berisi tentang peraturan-peraturan negara Hindia Belanda saat itu.  

 

Sementara NU Tasikmalaya pada 1933 membentuk 6 komite. Salah satu di antaranya adalah Komite Palanggeran-palanggeran Nagara atau peraturan-peraturan negara. Komite itu akan membuat paparan untuk keperluan anggota-anggota NU yang dimintakan kepada para ahlinya siapa saja dan dari golongan mana saja. Komite itu dipimpin seorang bernama I. Darseli.  

 

Pentingnya tentang pengurus dan warga NU serta masyarakat umum, mengerti hukum yang berlaku saat itu sering disinggung Ketua NU Cabang Tasikmalaya, Sutisna Senjaya, pada ragam kegiatan. Salah satu di antaranya terdokumentasi pada koran Sipatahoenan pada salah satu edisi di bulan Juni 1935:

 

Satoetasna disamboeng koe djoeragan Soet. Sen (Sutisna Senjaya) netelakeun tangtoengan nagara dina bagbagan agama oemoemma. Kitoe deui noe patali djeung roepa-roepa mas'alah. 

 

Saadat biasa, andjeumna mepenligan ka oerang rea, patjoean erek pintjang: ngan ngagoegoeloeng agama bae, henteu merdoelikeun kana roepa-roepa atoeran nagara atawa sabalikna, Tjindekma koedoe nintjak koe doea dampal soekoe. moedah-moedahan oelah tisoledat. nja di doenja nja di acherat.”  

 

Berdasarkan berita itu bisa diketahui pandangan tokoh NU Tasikmalaya tentang arti pentingnya mengetahui hukum nagara di samping agama. Kedua-duanya harus seimbang karena jika hanya mengetahui salah satunya seumpama kaki, akan berjalan dengan pincang. 

 

Kedua hukum itu selalu menjadi patokan NU dengan tegas sebagaimana diungkapkan Sutisna Senjaya pada sebuah tulisan di Al-Mawaidz:

 

Kapan sakitoe tetelana, njoetat tina Qoer’an diseboet ajat sabaraha, soerat naon. Njoetat tina kitab diseboet noe ngarangna, djilidna, katjana. Njoetat tina palenggeran nagara diseboet distatbeladna, diseboet nomerna, diseboet titimangsana.  

 

Sutisna Senjaya memiliki wawasan tentang hukum negara yang luas sebagaimana tampak dalam laporan Sipatahoenan pada saat kiai-kiai NU Tasikmalaya diundang berceramah pada tasyakuran sunatan anak seorang juragan bernama Salim di Rajapolah: 

 

Voorzitter (ketua Sutisna Senjaya) mere pepeling tina perkara njaritakeun hoekoem: oelah dianggap keur hidji golongan bae atawa keur satempat bae, ari lain tjara torodjol ti ditoena koedoe kitoe mah. Hoekoem Islam keur sakoemna oemmat Islam. Darigama keur sanagara. Iwal oepama ditangtoekeun saperti sirkoelir zakat fitrah eta mah keur Djawa jeung Madoera, iwal Solo djeung Djokdja, tanah Kasoeltanan. 

 

….hoekoem keur sarerea tea, noe poegoeh wates-wangena, poegoeh tjekeleunana, oelah oenggal hoeloe boga hoekoem sorangan. Toengtoengna awoet-awoetan. 

 

Lebih dari itu, bisa diketahui reputasi wawasan bidang hukum NU Cabang Tasikmalaya yang terungkap pada sebuah tulisan di Sipatahoenan pada edisi lain: 

 

Tangtoengan noe djadi pamarentah sakitoe neutraalna tina perkara agama, sarta sarerea geus pada terang ti babareto kaneutralanana, sok soemawona ajeuna mah, beuki kanjahoan koe sarerea, sanggeusna diterangkeun koe Nahdoh Tasik dina soerat sebaranana (ketentuan bahwa pemerintah bersikap netral dalam bidang agama –sebetulnya dari dulu juga netral, sekarang semakin banyak diketahui masyarakat- sesudah diterangkan duduk perkaranya oleh NU Cabang Tasikmalaya melalui selebarannya.)

 

Abdullah Alawi, Pemerhati kajian sejarah tinggal di Bandung