Fragmen

Laporan Rukyat KH Bisri Syansuri kepada KH Hasyim Asy’ari

Sab, 30 April 2022 | 11:00 WIB

Laporan Rukyat KH Bisri Syansuri kepada KH Hasyim Asy’ari

Seseorang tengah melakukan aktivitas rukyatul hilal. (Ilustrasi: bmkg.go.id)

Para ulama Nahdlatul Ulama pada umumnya menjadikan rukyah sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah. Di antara bukti nyata komitmen memilih rukyah itu adalah kegiatan rukyatul hilal (melihat bulan muda) yang dilakukan dua pendiri Nahdlatul Ulama, yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri.


Serpihan kisah berikut adalah cerita KH Bisri Syansuri kepada Gus Dur dalam ceramah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (w. 2009) dalam peringatan Haul KH Bisri Syansuri ke-29 pada 2008 di Pesantren Denanyar. 


Suatu saat Kiai Bisri Syansuri (w. 1980) melakukan proses rukyatul Hilal pada akhir Ramadhan di gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, sekitar satu kilometer dari Denanyar, bersama Hadlratussyekh KH Hasyim Asyari (w. 1947). Sebagaimana diketahui Tunggorono adalah area perbukitan yang cukup tinggi dan layak untuk tempat melihat hilal (bulan muda) untuk wilayah Jombang.


Murid Hadlratussyekh lainnya, KH. Mahfudz Anwar (w. 1999), pakar falak yang pernah menjadi Ketua Lajnah (sekarang beralih nama menjadi Lembaga) Falakiyah PBNU juga biasa melakukan rukyah ke gunung Tunggorono, terutama setiap menjelang Ramadhan dan Syawal.


Karena sebagai murid, Kiai Bisri menjaga jarak dengan guru tercintanya tersebut terpisah sekitar tiga puluh meter. Akhirnya pendiri Pesantren Denanyar ini berhasil melihat hilal. Beliau hendak melapor kepada Hadlratussyekh. Namun, Hadlratussyekh sedang kelelahan, hingga tertidur. Kiai Bisri pun menunggu Hadlratussyekh.


Akhirnya ketika Hadlratussyekh terbangun, Kiai Bisri kemudian mendekat dan melaporkan, “Kiai. Saya berhasil melihat bulan.”


Ketika Kiai Bisri bertanya lebih lanjut, Hadlratussyekh menimpali, ”Begini ya, yang bertanggung jawab di NU ini saya, bukan Sampean. Sampean yang melihat, dan saya tidak melihat. Jadi bagi sampean tetap ya harus berbuka besok.”


Keesokan harinya karena taat melaksanakan dawuh gurunya, Kiai Bisri makan ketupat dan minum kopi, kemudian Kiai Bisri menyelenggarakan Shalat Idul Fitri di Denanyar, kemudian naik dokar sowan kepada Hadlratussyekh, seolah-olah dalam keadaan masih berpuasa. Demikianlah ternyata Kiai Hasyim Asy’ari pernah berbeda dengan Kiai Bisri Syansuri dalam penentuan satu (01) Syawal.


Pendirian Kiai Hasyim ini sesuai dengan kisah perbedaan penentuan 1 Syawal dengan menantu  beliau, Kiai Maksum Ali (w. 1933). Ketika itu Kiai Hasyim menegur sang menantu, “Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.


Barang kali pendirian Kiai Hasyim Asy’ari ini yang kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat (penetapan awal Ramadhan dan Syawal) diserahkan kepada pemerintah sebagai Waliyul Amri (Wali Negeri alias Pemerintah).


Kiai Yusuf Suharto, pengurus Aswaja Center Jawa Timur