Fragmen

Membangun Kemandirian Santri

NU Online  ·  Senin, 20 Oktober 2003 | 13:32 WIB

Sejak awal pesantren hadir sebagai pendidikan alternatif, pertama sebagai alternatif dari pendidikan feodal yang hanya menerima kerabat kraton dan kaum ningrat, kedua sebagai alternatif pendidikan Belanda yang diskriminatif yang hanya menerima kalangan priyayi, dan ketiga sebagai alternatif pendidikan mahal, maka pesantren menyelenggarakan pendidikan untuk semua kalangan, kalangan ningrat, kalangan priyayi dan kalangan rakyat jelaata, sehingga pendidikan pesantren pada masa awal, bisa diakses oleh semua kalangan.

Sikap semacam itu tidak tumbuh begitu, saja, tetapi memang pesantren hadir untuk membebaskan masyarakat dari berbagai ketidakadilan, dan bagi pesantren ilmu bukan sebagai komoditi melainkan khazanah yang harus disebarluaskan. Dengan dasar itulah pesantren dikembangkan. Menghadapi system yang tidak adil itu, pesantren perlu menghadapi dengan konsisten, karena itu diperlukan kemandirian baik secara politik maupun secara ekonomi.

<>

Selama ini pesantren memang telah berhasil menjadi lembaga independen, tidak pernah minta bantuan ke keraton, sebab umumnya berada di daerah pedalaman, kalau di perkotaan mereka biasanya mendapatkan sumbangan dari para dermawan. Dan selama masa penjajahan, tidak seperti pendidikan yang lain, pesantren tidak minta sumbangan dari pemerintah kolonial, sehingga bisa menjadi kekuatan yang mandiri yang sangat disegani.

Kemandirian bukanlah sikap yang muncul begitu saja melainkan ditanamkan secara terus-menerus, sebagaimana dilakukan KH Hasyim Asy’ari. Ketika santri telah tamat dari peantren Tebuireng dan hendak meninggalkan pesantren maka Kiai mengumpulkan para santri yang hendak pulang tersebut dengan memberi wejangan bahwa yang harus dilakuakan para santri setelah thalabul ilmi (mencari ilmu) adalah thalabul halal (mencari harta yang halal) disertai kerja keras. Santri tidak boleh malu bekerja mencari rizki yang halal, sebagai pedagang petani, pengrajin dan sebagainya, semuanya adalah pekerjaan mulia dan termasuk ibadah yang besar pahalanya..

Tidak hanya berhenti pada nasehat, tetapi KH Hasyim Asy’ari terus memantau perkembangan santrinya, terutama dalam kemampuan ekonominya, karena sang kiai juga berjiwa saudagar. Kalau tidak sempat memantau sendiri biasanya mengutus para santri. Hal itu dilakukan agar para santri ketika kembali ke daerah masing-masing tetap berpegang pada nilai kepesantrenan dan keislaman, tidak larut dengan godaan materi terutama dari penjajah, sehingga mereka bisa menjadi kolaborator bahkan pengkhianat.

Dengan kemandiriannya itu pesantren menjadi kekuatan yang selalu resisten terhadap intervensi kolonial, berhasil mempertahankan system pendidikan mandiri, bahkan mampu menciptakan kultur tersendiri, karena itu Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai subkultur. Hal itu terjadi karena kemandiriannya dari kultur besar yang ada di sekelilingnya.

 

(MDZ. Disadur dari ceramah Gus Miek, dalam Semaan Mantab ke 61 di Pesantren Tebuireng Jombang)***