Fragmen

Muktamar Dalam Suasana Perang

NU Online  ·  Jumat, 21 Januari 2005 | 03:12 WIB

(catatan dari Muktamar Ke-21 di Medan 1956)

 
Ketika berlangsung Muktamar NU di Medan bulan Desember tahun 1956,   kondisi Medan waktu itu sangat tidak aman untuk kegiatan yang bersifat nasional. Karena  saat itu sedang meletus pemberontakan dilakukan para pengkhianat bangsa dengan dalih desentralisasi yang dilakukan gerombolan PRRI yang didalangi PSI dan Masyumi, dengan komandan lapangan Kolonel Maludin Simbolon dengan Dewan Gajah-nya yang berkuasa atas Sumatera Utara (Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat dan Riau Daratan) dan masuk dalam TT II.

<>

Ketika hubungan antara TT  I dan Mabes AD memanas, karena Kolonel Simbolon tidak bisa mempertanggungjawabkan hasil penyelundupan Teluk Nibung yang katanya untuk kesejahteraan prajurit. Maka TT II hendak memutuskan hubungan dengan pusat. Sekalipun Letkol Ahmad Husain di Sumbar sudah dipenuhi tuntutannya sebagai Kodam yang tepisah dari TT I Bukit Barisan, namun Simbolon tetap memaklumkan berdirnya pemerintahan Dewan Banteng sebagai embrio pemerintahan PRRI dan kemudian disusul pemberontakan di wilayah Indonesia Timur yang dilakukan gerombolan Permesta.

Tuntutan pokok mereka adalah: pulihnya Dwitunggal Soekarno-Hatta, dibubarkannya PKI dan tuntutan politik Luar Negri yang berorientasi SEATO (South East Treaty Organisation). Sebagai langkah menyeret  Indonesia ke kancah perang dingin dengan masuk Blok Barat (Amerika) Padahal Indonesia (Bung Karno) tetap berpegang pada Dasa Sila Bandung, solidaritas Asia-Afrika dan Amerika Latin dan terakhir NEFOS dan Non Blok.

Adik ipar Simbolon yang bernama Sukotriwarno saat itu masuk dalam kelompok kajian lapangan terbang peradilan militer di wilayah tentara dan Teriterium I Bukit Barisan. Hal ini karena ia lulusan MA (Militer Akademi) angkatan kedua Yogyakrta dan seangkatan di AHM. Atas bantuan Sukotriwarno itu TNI yang diwakili Mustahal, berhasil menghimbau Simbolon agar tidak mengganggu pelaksanaan Muktamar NU . Namun demikian Muktamar tetap berlangsung dengun penuh kekhawatiran akan pecahnya pertempuran antara pasukan yang pro Dewan Gajah-nya Simbolon melawan pasukan yang tetap setia kepada pemerintah pusat.

Selain pendekatan secara pribadi yang dilakukan Mustahal dari TNI, para pengurus NU juga melakukan pendekatan melalui Ketua Wilayah NU Sumatera Utara H. Nuddin Lubis dan juga oleh Siregar, Walikota Medan anggota NU. Pendekatan dilakukan pada para pemimpin pemberontak karena tidak seperti Masyumi dan PSI yang simpati bahkan mendukung gerakan tersebut, sementara NU dengan tegas menolak persekongkolan jahat itu. Karena itu NU khawatir menjadi sasaran kemarahan para pemberontak, padahal secara politik Muktamar diselenggarakan di sana juga sebagai pembuatan opini agar rakyat tetap setia pada republik, karena itu Nu harus pandai-pandai menghadapi para pemberontak yang garang itu.
 
Simbolon juga dapat diyakinkan bahwa Muktamar NU tidak akan mengusik sikap pembangkangannya terhadap pemerintah pusat. Walauun NU sangat dekat dengan Bung Karno, dan menolak pemberontakan, tapi Simbolon tahu bahwa beberapa tokoh PBNU  sebagai simpatisan Liga Demokrasi (Bung Hatta), antara lain Jamaluddin Malik, ZA Tanamas, KH Mohammad Dachlan dan Zubhan ZE. Bahkan Imron Rosyadi Ketua NU, adalah Sekjen Liga Demokrasi yang akhirnya dijebloskan ke penjara oleh Bung Karno. Dengan alasan semacam itu itu PRRI dan Simbolon tidak mengganggu Muktamar NU.
 
Bahkan waktu itu sempat terbit kecurigaan terhadap ketua PBNU Jamaluddin Malik atas keberpihakannya pada PRRI/Permesta karena keterlambatannya mendaratkan pesawat yang ditumpangi Muktamirin VIP di Polonia Medan. Karena melakukan persinggahan di Tabing Padang Sumbar, untuk mencari masukan dari Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang mendahului Simbolon dalam memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat. Ternyata pesawat itu tertahan di Polonia sampai berakhir-nya Muktamar. Sehingga dapat ditumpangi kembali ke Jakarta minus Subhan ZE yang tertinggal. Muktamirin yang lain pulang ke Jakarta melalui Malaya (Penang) dengan kapal laut dan perahu layar yang diawaki oleh pelaut Banjar dan Sulawesi Selatan.
 
Karena Simbolon sudah diusir dari kota Medan oleh pasukan yang setia kepada pemerintah Pusat yang dipimpin Letkol Wahab Makmour (Danrem Pematang Siantar) dan serbuan mendadak Letkol Jamin Ginting S (Kepala Staf TT  I), Letkol Sugiharto (Mantan Jaksa Agung) dan Mayor Ulung Sitepu  dari dalam kota, maka akhirnya   pesawat yang mengangkut Muktamirin diperbolehkan terbang kembali. Petugas bandara dan Kepala Perwakilan Garuda Medan menyetujuinya karena di antara pimpinan Muktamirin  terdapat komisaris Garuda (GIA) yaitu Jamaludd