Fragmen

Munas Lampung, Para Kiai Berbenah

NU Online  ·  Senin, 17 Juli 2006 | 09:35 WIB

ADA yang baru dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) di Bandar Lampung, tahun 1992. Para kiai kelihatannya mulai bosan dengan beberapa keputusan hukum yang berbunyi “mauquf” alias tidak ada keputusan hukumnya karena masalah yang dibahas tidak (belum) ditemukan dalam segebok kitab kuning yang dibawa dari berbagai pesantren. Pertemuan para kiai se-Indonesia 5 tahunan diantara muktamar ke muktamar itu akhirnya membuat suatu kesepakatan yang diberi judul “SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM DALAM BAHTSUL MASAIL DI LINGKUNGAN NAHDLATUL ULAMA.”

Waktu itu, Tanfidziyah PBNU diketua oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sementara kiai yang sangat bersemangat memunculkan keputusan baru itu adalah teman karib Gus Dur sendiri, KH. Ma’ruf Amin yang sedang menjabat sebagai Katib Aam Syuriah PBNU. “Mulai 1992 para kiai tidak tekstual atau qoulan saja,” kata Kiai Ma’ruf Amin. Masalahnya, jika persoalan hukum yang di-bahtsul masa’il-kan sangat krusial dan harus diputus waktu itu juga, sementara para kiai yang berkumpul dari seluruh Indonesia berkata “kami tidak berani bersuara karena qaul-nya tidak ada,” lalu kemana lagi umat akan mengadu.

<>

Dua keputusan penting terdapat pada poin 3 dan 4 pada sub bab “PROSEDUR PENJAWABAN MASALAH", berikut ini:

“Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli…
3. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masa’il  binadha'iriha secara jama’i oleh para ahlinya.
4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama’i dengan prosedur bermazdhab secara manhaji oleh para ahlinya.”

Dijelaskan, “ilhaqul masail bi nadhairiha secara jama'i” adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”), dan dilakukan oleh para kiai secara bersama-sama.  Para kiai kemudian menyebut ini sebagai metode qiyas (qodliyah/silogisme) ala NU. Lalu, dijelaskan juga, bermadzhab secara manhaji adalah bermazhab dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Jadi, bisa saja keputusan yang akan diambil nantinya tidak sama dengan kata-kata imam Syafi’i, misalnya, namun dianggap sama dengan yang diingini Imam Syafi’i secara metodologis (manhaji).

Ada juga yang baru. Dengan semangat mudanya Gus Dur, para kiai waktu itu juga menyepakati adanya “KERANGKA ANALISIS MASALAH” --istilah yang ngetrend waktu itu, untuk lebih jauh memasuki persoalan sosial yang akan di-bahtsul masail-kan. Diputuskan bahwa masalah dan dampaknya harus dianalisa dari perspektif ekonomi, budaya, politik, sosial dan lainnya.

Sementara itu, para kiai juga menyepakati bahwa diharuskan memikirakan konsekuensi dari keputusan yang akan difatwakan. Apakah fatwa akan membangkitkan kesejahteraan masyarakat dan bagaimana caranya, dan seterusnya.

Keputusan Munas Lampung ini berbeda karena biasanya hanya berisi tentang permasalahan hukum --baik kaitannya dengan masalah ibadah murni atau masalah-masalah sosial yang sedang aktual, boleh atau tidakkah ini dan itu, lalu dijawab, dan dilengkapi dengan teks-teks yang tertulis dalam kitab-kitab kuning. Ada keinginan untuk tidak hanya terpaku kepada teks, sembari menyimak beberapa perkembangan pemikiran sosial dari mana saja yang sedang berkembang.

Keputusan Munas Lampung itu tetap ada, namun pada beberapa kali Munas dan Muktamar berikutnya bahtsul masa’il kembali berulang sebagaimana sebelumnya, “kembali ke khittah”. Tidak ada yang berani menentukan hukum dengan jalan ilhaqul masa’il  binadhairiha atau dengan cara istimbath jama’i atau bermadzhab secara manhaji. Masalahnya, Munas Lampung belum sempat memberikan petunjuk teknis, bagaimana menentukan hukum dengan dua cara itu. Baru pada Muktamar XXXI di Boyolali 2004, para kiai berencana membikin kesepakatan tentang petunjuk teknis itu.

Sayang, forum bahtsul masail Muktamar Boyolali lebih bersibuk dengan urusan menolak kehadiran “Islam Liberal”, hermeneutika dan sejenisnya yang diyakini terlalu berbahaya, "terlau kebarat-baratan," mengimpor gagasan dan tidak percaya diri dengan Fikrah Nahdliyah (pokok pikiran NU sendiri). Forum Muktamar akhirnya hanya menyalin ulang teks keputusan Munas Lampung tanpa memberikan penjelasan apa-apa, selain membarukan bahasa dan memberikan tambahan aturan bahwa Mukamar adalah forum tertinggi di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Munas Alim Ulama di Surabaya, 27-30 Juli 2006 nanti, akan membuka kembali keputusan Munas Lampung. Kita lihat saja hasilnya.

(a khoirul anam)