Fragmen CATATAN USEP ROMLI HM

Nasib “Khadam” Ajengan

Sen, 7 April 2014 | 12:00 WIB

Sebagai santri, saya pernah menjadi “khadam” (pembantu) ajengan. Menjinjing tas berisi kitab-kitab, jika beliau berangkat mengikuti “batsul masail” atau “lailatul ijtima” di kantor cabang NU. Juga menemani beliau jika akan mengaji “bilbarkah” di pesantren tempat dulu beliau menuntut ilmu. Bahkan setelah tidak “nyantri” pun, saya sering menjadi “khadam” ajengan.
<>
Tahun 1980-an, saya menjadi “khadam” KH Abdul Fatah Gozali , yang terkenal sebagai “ajengan pedesaan”. Sebab beliau sering memberi pengajian di desa-desa, menggunakan bahasa Sunda. Beliau pernah menjadi anggota pleno PBNU. Sangat akrab dan dihormati oleh KH Abdurahman Wahid (Gus Dur).

Setiap kali saya berjumpa dengan Gus Dur, dalam acara yang beliau isi (ceramah, seminar, dan lain lain), dan saya kebetulan meliput, selalu beliau menyapa saya dan menanyakan kesehatan KH AF Gazali (wafat Mei 2001).

“Sampaikan salam saya kepada Mang Totoh,”demikian pesan Gus Dur. “Mang Totoh” adalah sapaan akrab KH Abdul Fatah Gozali, SH. Entah berapa kali, Gus Dur titip salam buat “Mang Totoh” kepada saya. Tentu saja, saya segera menyampaikan amanat itu kepada yang bersangkutan. Sebagai anggota pleno PBNU, Mang Totoh sering ke Jakarta. Rapat PBNU. Dan pasti sering ketemu Gus Dur . Tapi tak pernah satu kalipun Mang Totoh mengatakan kepada saya, ada salam dari Gus Dur.

Ya nasib “khadam” tentu jauh berbeda dari ajengan jumhur yang di”khadami”. Termasuk dalam urusan salam menyalam. Ibarat pungguk merindukan bulan, jika seorang khadam mengharap dapat ucapan salam dari Gus Dur yang dititipkan kepada Mang Totoh. Tapi semoga saja, saya yang sering menerima titipan salam dari Gus Dur kepada Mang Totoh, kebagian berkah silaturahim kedua tokoh yang saya kagumi itu.

Saya juga pernah menjadi “khadam” KH Imang Mansyur Burhan, Rais Syuriah PWNU Jabar tahun 1990-an. Kebetulan saya pernah menjadi “santri kalong” pesantren Cijawura, Kabupaten Bandung yang diasuh KH Burhan, ayah KH Imang. KH Burhan juga pernah menjadi Rais Syuriah PWNU Jabar tahun 1970an. Ketika KH Imang Mansyur menjadi Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPW Jabar (1998), dan menjadi caleg DPRI PKB Dapil Garut, beliau meminta saya menjadi “khadam”. Membantu berkampanye di Garut.

Untuk memudahkan kordinasi, saya diangkat menjadi salah seorang pengurus DPW PKB Jabar dan menjadi caleg DPRD Jabar dari Garut, nomor urut 2. Alhamdulillah, hasil pemilu 1999, dari Garut PKB mendapat satu kursi DPR-RI dan satu kursi DPRD Jabar. KH Imang masuk Senayan.

Sedangkan saya gagal, karena yang masuk ke DPRD Jabar nomor urut satu. Ya begitulah nasib “khadam”. Ajengan yang diantar, masuk ruang tamu pribumi, “khadam” cukup masuk dapur saja. Membantu menyediakan suguhan bagi para ajengan yang ”batsul masail”atau ngaji “bilbarkah”.(Tamat)