Fragmen

PKI dan Orang Tak Berpartai, Perdebatan Kiai Idham Chalid dengan Kawanan Aidit

Sen, 10 Juli 2017 | 06:17 WIB

PKI dan Orang Tak Berpartai, Perdebatan Kiai Idham Chalid dengan Kawanan Aidit

KH Idham Chalid (kiri) bersama pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Imam Zarkasyi (tengah). Foto: Gontor

Menjelang pemilihan umum tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) buat ontran-ontran. Partai berlambang palu arit ini meletakkan kalimat “PKI dan Orang Tak Berpartai” di bawah logo resminya.

Kalimat propaganda tersebut dinilai sebagai upaya mengelabuhi mata rakyat. Partai Nahdlatul Ulama sebagai salah satu peserta pemilu mengajukan protes keras hingga akhirnya Menteri Dalam Negeri, Mr Sunaryo menggelar pertemuan segi empat.

Pada pertemuan itu, Mendagri Sunaryo memanggil S Hadikusumo sebagai Ketua Pemilihan Umum, dan Idham Chalid mewakili Partai NU. Sedangkan dari kubu PKI diwakili DN Aidit, Sudisman dan Sakirman.

Mendagri Sunaryo membuka perundingan dengan mengatakan bahwa setiap tanda gambar partai dalam pemilihan umum harus disepakati pemerintah juga seluruh partai peserta pemilu. Berhubung Partai Nahdlatul Ulama termasuk peserta pemilu dan sangat keberatan atas tanda gambar PKI, maka pemerintah perlu mengadakan perundingan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Kesempatan pertama diberikan kepada penggugat, yakni Kiai Idham Chalid yang mewakili Partai NU. 

“Menurut pengetahuan Nahdlatul Ulama bahwa tanda gambar atau simbol PKI selama ini cuma palu-arit. Dengan menambahkan kalimat ‘PKI dan Orang Tak Berpartai’ dipandang bahwa PKI hendak menjadikan begitu saja semua orang yang tak berpartai ke dalam golongannya tanpa diminta persetujuan mereka. Ini merupakan usaha mengelabuhi mata rakyat!” katanya dengan nada tinggi.

Mendengar istilah “mengelabuhi mata rakyat”, DN Aidit tidak terima dan mengajukan protes yang tak kalah kerasnya. Tetapi protes itu tetap ditolak, dan Kiai Idham kekeuh menamakan mereka sebagai kelompok penipu rakyat.

Sudisman yang sebelumnya diam berusaha menenangkan dengan mengajukan pertanyaan, “Dari mana Anda bisa mengambil kesimpulan mengelabuhi rakyat?”

“Coba ambil saja satu misal. Di negeri kita masih banyak orang-orang yang tak berpartai, mereka anti-komunis. Lalu mereka dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan PKI,” jawab Kiai Idham.

“Apakah ini bukan mengelabuhi mata rakyat?” tanya balik. Kiai kelahiran Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 ini kemudian melanjutkan. “Bukan saja mengelabuhi, bahkan memperkosa hak seseorang dengan sangat merugikan. Misal lagi, ada juga beberapa ulama tidak berpartai. Mereka tidak menjadi anggota Nahdlatul Ulama, juga tidak Masyumi, PSII maupun Perti. Lalu oleh PKI hendak dimasukkan ke dalam golongannya. Padahal mereka haram memilih PKI, mereka anti-komunis dan anti-PKI.”

Aidit tidak tinggal diam. Lelaki bernama lengkap Dipa Nusantara Aidit ini menjelaskan bahwa PKI tidak bermaksud mengelabuhi mata rakyat. Tentang kepada partai mana seseorang akan memilih, itu tetap menjadi hak mereka.

“Ya dengan membubuhi kata-kata dalam gambar palu arit dengan kalimat 'dan orang tak berpartai' itu saja sudah merupakan suatu propaganda untuk mengelabuhi mata rakyat,” terang Kiai Idham.

Entah karena merasa terpojok, DN Aidit tiba-tiba membujuk Kiai Idham dengan menyatakan jika dirinya tidak keberatan kalau saja Nahdlatul Ulama juga menambahkan kalimat dalam gambarnya yang berbunyi “Nahdlatul Ulama dan semua orang Islam”. 

Tawaran diplomatis itu ditolak dengan tackle halus. “Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang sangat berkeberatan orang lain melakukannya?”

Perundingan yang memakan waktu dua kali pertemuan itu akhirnya selesai. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri memerintahkan Partai Komunis Indonesia untuk menghapus kalimat “PKI dan Orang Tak Berpatai” dari gambarnya dalam pemilihan umum tahun 1955. (Zunus Muhammad)

Kisah ini bersumber dari KH Saifuddin Zuhri melalui bukunya Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (LKiS, 2001).