Fragmen

Polemik Keras Rukyatul Hilal di Kalangan Ulama Betawi Abad 19-20 M (2)

Ahad, 5 Mei 2019 | 05:00 WIB

Oleh Rakhmad Zailani Kiki

Dalam risalah berjumlah delapan halaman dengan judul Fadhlurrahman fi Raddi Man Radda Al-Marhum As-Sayyid Utsman, Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (1877 M-1934 M) membela pendapat Habib Utsman bin Yahya (1822 M-1913 M) dan membantah pendapat Guru Manshur Jembatan Lima (1878 M-1967 M) dalam masalah rukyatul hilal.

Pada poin keempat yang menjadi pokok-pokok bantahannya, Guru Marzuqi menyatakan bahwa burhan yang lain atas kebenaran fatwa Sayyid Utsman bin Yahya adalah tentang kewajiban qadhi untuk menolak saksi yang melihat bulan kurang dari tujuh derajat meski saksi itu cukup syarat-syaratnya sebagai saksi, yaitu `adalah dan muruah.

Menurut Guru Marzuqi, masalah ini terkait dengan pandangan jumhur `ulama muhaqqiqin yang berpegang kepada qaul Tuan Syekh As-Subki yang berkata bahwa ditolak akan saksi yang mendakwakan melihat bulan di malam yang mustahil rukyat dan itulah qaul rajih (pendapat yang kuat) yang wajib agar qadhi (hakim) menghukumkan dengan menolak saksi yang melihat hilal kurang dari tujuh derajat.

Begitu pula  mufti, ia juga harus memfatwakannya. Sedangkan qaul Tuan Syekh Az-Zarkasyi dan qaul tuan Syekh Ar-Ramli yang mengikut qaul Syekh Az-Zarkasyi mengatakan bahwa diterima saksi yang cukup syarat-syaratnya yang mengaku melihat bulan (hilal) di malam yang mustahil rukyat padahal al-hasanatul qath`iy, maka ini qaul dianggap dhaif.

Guru Marzuqi menambahkan bahwa kedhaifannya diberikan oleh jumhur `ulama muhaqqiqin. Oleh karenanya, qadhi atau mufti yang menghukumkan atau memfatwakan dengan qaul Tuan Zarkasiy itu fasik lagi zhalim karena ijma` ulama tidak menghukumkan dan memfatwakan sesuatu dengan qaul yang dhaif.

Dari poin-poin bantahan di atas, kita bisa menilai tentang kemampuan ulama Betawi terdahulu yang mampu berargumen dengan baik dan membantah dengan cerdas melalui tulisan,  dengan kesantunan, bukan debat kusir tak berujung di forum-forum terbuka yang sering kali mempermalukan lawan debatnya.

Bantahan yang dilakukan oleh Guru Marzuqi Cipinang Muara terhadap pendapat Guru Manshur Jembatan Lima mengenai hilal dapat dilihat kurang dari tujuh derajat sebenarnya tidak begitu tepat juga.

Sebab, Guru Manshur Jembatan Lima memiliki alasannya juga yang berbasis pada hisab, bukan pada rukyat. Rukyat, bagi Guru Manshur, dipahami juga dengan hisab. Jika Hilal sudah wujud (wujudul hilal), maka awal bulan hanya untuk menyandarkannya pada Sullamun Nayyirain (Anak Tangga Matahari dan Bulan) menggunakan sistem/teori hasil pengamatan yang dilakukan oleh seorang Zij Sulthan (astronom pemerintah) yang bernama Ulugh Beyk As-Samarkand.

Ulugh Beyk adalah ahli astronomi yang lahir di Salatin pada tahun 1393 Masehi dan meninggal di Iskandaria 1449 Masehi. Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Makmun. Pada masa kepemimpinannya, sang khalifah memerintahkan para ilmuwan untuk mendirikan observatorium, salah satunya yaitu di daerah Samarkand yang dikepalai oleh Ulugh Beyk tersebut.

Ulugh Beyk adalah seorang astronom yang pandai. Ia mengepalai penyelidikan-penyelidikan yang menelan biaya yang tidak sedikit. Ulugh Beyk merupakan keponakan dari cucu Hulago dari keluarga Timur Lenk, Hasan Al-A’raj, Si Pincang.

Pada tahun 1437 M, ia berhasil membuat sebuah Zij berdasarkan observasi yang dilakukannya. Pengertian dari Zij itu sendiri adalah tabel keangkaan yang diterapkan pada planet-planet untuk mengetahui ciri masing-masing, baik jalan gerakannya, kecepatan, kelambatan, kediaman dan geraknya kembali.

Ia menamakannya Zij Ulugh Beyk. Tabel-tabel tersebut masih menggunakan model angka Jumali yang merupakan model angka yang biasa digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk menyajikan data astronomis benda-benda langit.

Kitab Sullamun Nayyirain (Tangga Matahari dan Bulan) adalah karya Guru Manshur Jembatan Lima berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ulugh Beyk tersebut, yang sebelumnya telah ditalhis (dijelaskan) oleh orang tuanya sendiri yang bernama Abdul Hamid bin Muhammad Damiri Al-Batawi dengan taqrir atau ketetapan dari Syekh Abdurrahman bin Ahmad Al-Mishri.

Walau hisab Sullamun Nayyirain telah dikategorikan saat ini sebagai hisab taqribi atau akurasinya masih di bawah hisab hakiki, namun pendapat Guru Manshur Jembatan Lima bahwa hilal bisa dilihat di bawah tujuh derajat telah sesuai dengan perhitungan astronomi modern melalui Rekomendasi Jakarta Tahun 2017 di mana syarat minimal hilal terlihat adalah tiga derajat. (Selesai…).


*) Penulis adalah Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Sekarang ia diamanahi sebagai Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta.