Gagasan mengenai adanya rekonsiliasi nasional bagi NU bukan barang baru, jauh sebelum Gus Dur menawarkan hal itu pada masa reformasi, kalangan NU terdahulu telah berusaha merintisnya, bahkan ini menjadi watak dasar NU sebagai organisasi Islam yang berorientasi kebangsaan. Salah satu tokoh NU yang paling gigih melakukan upaya itu adalah Mahbub Junaidi pertengahan tahun 1970-an ia memprakarsai diadakannya Rujuk Sosial, sebab setelah peristiwa 1965 hingga Pemilu 1971 yang penuh kekerasan itu, bangsa ini dilanda polarisasi yang tajam, sehingga mengganggu kerukunan nasional.
Pada awal 1980-an, kembali Mahbub Junaidi yang saat itu menjadi salah seorang Ketua PBNU, berusaha memprakarsai diadakan rekonsiliasi dengan para korban peristiwa 1965, sebab ia sangat prihatin terhadap nasib para tapol yang baru bebas dari Pulau Buru dan Nusakambangan beserta keluarganya yang terus menerus dalam tekanan, baik tekanan social, ekonomi dan politik. Tekanan tidak hanya dilakukan oleh aparat negara, tetapi juga oleh masyarakat sendiri, harta mereka dirampas, kebebasannaya dibelenggu dan harta miliknya dirampas.
<>Langkah konkret yang dilakukan Mahbub adalah mengajak Pramoedya Ananta Toer sastrawan besar bekas anggota Lekra itu ‘”Saudara Pram kalau saudara tidak keberatan, saya mengajak sudara masuk menjadi anggota NU, agar Anda sedikit terbebas dari tekanan fisik dan mental dari Rezim Orde Baru, sehingga bisa menulis segala karya kreatif yang bisa mengangkat derajat bangsa ini di hadapan bangsa besar yang lain,” kata Mahbub pada sejawat yang dikaguminya itu.
“Aduh terima kasih.. terima kasih kawan Mahbub anda memang seorang Muslim sejati dan sekaligus nasionalis yang konsekwen…Sungguh saya sangat senang hati seandainya bisa diterima sebagai warga NU” jawab Pram terharu, “Tetapi coba kawan pertimbangkan kembali, seandainya saya masuk NU, apakah NU tidak akan menjadi sasaran kemarahan orde baru.
Sungguh saya tidak tega NU dirusak Orde Baru hanya karena menyelamatkan saya seorang diri, kasihan NU-nya, itu yang pertama, yang kedua, saya ini seorang sastrawan anarkis sulit untuk mengikuti aturan organisasi, di Lekra sendiri saya hanya ikut-ikutan saja, maka saya khawatir kalau nanti tidak bisa berorganisasi dengan baik di NU malah merusak manajemen NU”. Demikian dengan halus Pram menolak ajakan Mahbub Junaidi.
“Anda terlalu berendah hati….. saya mengajak anda dengan penuh pertimbangan dan mengitung segala risiko, tetapi bukankah risiko itu harus diambil untuk melangkah menuju kemajuan, sebab yang hendak diayomi bukan hanya anda anda sebagai simbol, tetapi ini mencakup keseluruhan warga yang terdiskriminasi seperti anda dan para tapol lainnya,” tukas Mahbub
“Bagus tetapi saya akan pertimbangkan secara masak, demi kebaikan semuanya, soalnya rezim yang kita hadapi sangat kuat, perlu ketabahan dan kehati-hatian” jawab Pram dengan pasti.
Akhirnya Pram tidak pernah masuk NU, mungkin karena pertimbangan demi keselamatan NU dan mungkin banyak pertimbangan lainnya, tetapi hal itu tidak mengurangi keakraban dan persahabatan kedua sejawat itu. Tidak hanya dengan Mahbub dengan Tokoh NU yang lain seperti Gus Dur Pram juga punya kedekatan tersendiri, yang dengan tidak henti membela kebebasan satrawan maestro itu. (Bregas)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
4
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
5
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
6
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
Terkini
Lihat Semua