Fragmen

Saat Kiai Wahab Inginkan Laskar Hizbullah Seperti Pemuda Ashabul Kahfi

Kam, 5 Oktober 2017 | 10:30 WIB

Saat Kiai Wahab Inginkan Laskar Hizbullah Seperti Pemuda Ashabul Kahfi

Laskar Hizbullah (buku Laskar Ulama-Santri).

Pendudukan Jepang atas Indonesia tergoyang ketika mereka kalah perang dengan tentara sekutu (Inggris-Belanda). Seketika itu pula mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuatan perangnya dengan melatih para pemuda Indonesia secara militer guna berperang melawan sekutu. Para pemuda dimaksud tidak lain adalah para santri.

Karena sudah mempunyai kesepakatan diplomatik dengan KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Jawatan Agama (Shumubu) yang diwakilkan kepada anaknya KH Abdul Wahid Hasyim, Nippon menyampaikan gagasannya itu kepada Kiai Hasyim.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kiai Hasyim menyetujui langkah Jepang tersebut dengan syarat para pemuda yang dilatih militer itu berdiri sendiri tidak masuk dalam barisan Jepang. Itulah awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim sebagai Laskar Hizbullah.

Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.

Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang. Di saat sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang. Namun di balik semua itu, guru para kiai di tanah Jawa ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi penjajah ke depannya.

Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim, Jepang menyerah kepada sekutu. Namun Indonesia menghadapi agresi Belanda II. Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar Hizbullah, dan lain-lain sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal gemblengan ‘gratis’ oleh tentara Jepang.

Saat itu, Angkatan pertama latihan Hizbullah di daerah Cibarusa, dekat Cibinong, Bogor awal tahun 1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang masing-masing mengirim 5 orang pemuda. 

Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikeola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.

Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya.

Tetapi, ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimana pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.

Kegundahan Kiai Wahid tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir. Karena menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada hasil yang maksimal. 

“Bia menderita asal penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, hasil akhir yang maksimal bisa tercapai juga,” tutur Kiai Wahab memberi masukan.

Bicara tentang Ashabul Kahfi, sebenarnya berapakah jumlah pemuda-pemuda itu persisnya?” tanya KH Mukhtar, salah satu anggota di bawah kepemimpinan Zainul Arifin.

“Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatakan, yang tahu jumlah persisnya hanyalah Allah. Kita tidak usah berselisih mengenai berapa sebenarnya jumlah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi itu,” jawab Kiai Wahab.

“Dalam Al-Qur’an Cuma disebut bertiga. Adapun yang keempatnya adalah anjing mereka. Roobi’uhum kalbuhum,” Kiai Wahab melanjutkan.

“Tapi ada yang mengatakan mereka berlima yang keenamnya adalah anjing, saadisuhum kalbuhum,” sela KH Farid Ma’ruf, anggota lainnya.

“Ada lagi yang mengatakan Ashabul Kahfi itu tujuh orang, yang kedelapan adalah anjing mereka. Wa tsaaminuhum kalbuhum,” kali ini Kiai Wahid Hasyim menimpali.

Di tengah diskusi mereka perihal jumlah pemuda Ashabul Kahfi, tetiba masuklah seorang Nippon berseragam Sersan Mayor, Sidokan, pelatih Hizbullah. Kedatangannya sekonyong-konyong tanpa diperkiarakan sebelumnya. Tentu saja menjadi sebuah kejutan tersendiri bagi para kiai.

Namun, Kiai Wahab bereaksi secara cepat dengan datangnya tentara Nippon tersebut. Dengan nyaringnya ia mengatakan: “Wa taasi’uhum...qirduhum” (yang kesembilan adalah...monyet mereka). Seketika meledaklah gelak tawa serentak. Orang Nippon tersebut juga ikut ngakak meskipun dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Kiai Wahab kepadanya.

Obrolan tersebut menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi genting memimpin dan mempersiapkan strategi dalam mengusir penjajah, para kiai tidak lepas dari karakteristik asalanya yaitu pesantren. Dengan mudahnya mereka mengubah suasana yang membutuhkan pemikiran serius menjadi kondisi yang riang gembira. (Fathoni Ahmad)