Fragmen

Saat NU Jadi Oposisi Pemerintah Orde Baru

Rab, 1 Mei 2019 | 02:00 WIB

Saat NU Jadi Oposisi Pemerintah Orde Baru

Forum NU (Dok. Perpustakaan PBNU)

Bisa dikatakan era Orde Baru atau rezim pemerintahan Soeharto, Nahdlatul Ulama mengalami kondisi yang tidak mudah. Selain mengalami diskriminasi golongan, NU juga mengalami represi dari pemerintahan Soeharto. NU saat itu termasuk ormas yang kerap berseberangan dengan pemerintah, bahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengkritik Soeharto dalam tulisan-tulisannya.

Pada 1973, pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai mempraktikkan kehidupan politik yang represif. Langkah paling mendasar adalah memaksa partai-partai bergabung satu sama lain (fusi).

Kacung Marijan dalam Quo Vadis Setelah NU Kembali ke Khittah (1992) menjelaskan bahwa penyederhanaan yang dikonsep oleh Ali Moertopo tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, tujuan jangka pendek, yaitu mempertahankan stabilitas nasional dalam kelancaran pembangunan dalam menghadapi pemilu.

Kedua, tujuan jangka panjang, penyederhanaan partai secara konstitusional sesuai ketetapan No. XXII/MPRS/1966. Gagasan ini, katanya, tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari itu adalah perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada program.

Seluruh partai Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, serta partai nasionalis dan Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) bergabung dengan tiga partai muslim lain, menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Berdirinya PPP diumumkan pada Januari 1973.

Penggabungan menjadi PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima bagi kebanyakan politikus NU. Kiai-kiai NU di tubuh partai memegang prinsip bahwa dalam kondisi sulit dan terdesak yang dibutuhkan adalah kemudahan (al-masyaqqah tajlibut taysir).

Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1944) menerangkan bahwa KH Idham Chalid dan kawan-kawan terdekatnya, langsung menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan anggota PBNU lain. Dapat dimengerti jika hal ini memunculkan ketidakpuasan di lingkungan NU. Namun, semua tampaknya setuju untuk berbuat yang terbaik dalam kondisi baru ini tinimbang menantang secara aktif.

NU bertahan sebagai komponen khusus, sekaligus utama, dalam PPP. NU dengan gencar mempertahankan kepentingan faksionalnya. NU adalah partai yang jauh lebih besar dibanding partai-partai lain yang bergabung dalam PPP. Dua di antaranya PSII dan Perti, partner lamanya dalam Liga Muslimin. Kedua partai ini sangat kecil.

Perti bahkan hanya memiliki pendukung di lingkungan etnis (kaum tradisionalis Minangkabau dan Aceh). Satu-satunya partner signifikan NU di PPP adalah Parmusi. Menurut hasil pemilu 1971, Parmusi mendapat 24 kursi di DPR, sementara NU 58, PSII 10, dan Perti 2 kursi. (Untuk perbandingan: Golkar mendapatkan 226 kursi dan partai-partai yang kelak bergabung dalam PDI mendapatkan 40 kursi).

Dalam konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan. Bagi NU, peleburan diri ke dalam PPP seperti kembali ke masa ia menjadi bagian dari Masyumi. Tidak sulit meramalkan sebagian problem dan konflik lama meledak kembali ke permukaan, kecuali jika ketimpangan antara kekuasaan massa pendukung yang besar dan jumlah politikus yang berkeahlian dapat diatasi dengan baik.

Yang lebih penting lagi, Rais ‘Aam NU Kiai Bisri Syansuri juga menjadi presiden Majelis Syuro PPP, dewan ulama yang menurut teorinya dapat mengeluarkan fatwa yang secara konstitusional harus diikuti partai. Berulangkali, saat-saat kritis selama 1970-an, Kiai Bisri mengeluarkan keputusan tegas tentang pendirian partai.

Kiai Bisri adalah pemimpin yang sangat berbeda dengan Kiai Wahab Chasbullah. Ia kurang memiliki naluri politik dan keluwesan yang dimiliki para pendahulunya. Ia lebih mendasarkan keputusan kepada penalaran fikih (ilmu tentang hukum Islam) ketimbang kebijaksanaan politik. Seperti kebanyakan ulama tradisionalis, ia lebih suka menghindari konflik dengan pemerintah tapi menolak bersikap kompromi apabila menyangkut prinsip agama.

Inilah yang justru membuat Kiai Bisri dan NU beberapa kali terlibat dalam perbenturan serius dengan pemerintah. Konfrontasi pertama terjadi ketika rencana undang-undang perkawinan dibawa ke sidang DPR pada 1973. Beberapa pasal dalam Undang-Undang ini bertentangan dengan hukum keluarga dalam fikih, dan Kiai Bisri menolaknya dengan lantang. Semua kelompok PPP di DPR menyatakan penolakan atas undang-undang tersebut.

NU di bawah komando Kiai Bisri pernah menolak RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah ke DPR pada 31 Juli 1973 karena RUU ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, bukan hanya Islam tetapi juga Kristen.

Sikap kritis dan reaktif NU ini membuat para elit pemerintah jengkel dan merasa tidak dihargai sehingga akhirnya Ali Moertopo melakukan manipulasi politik dengan cara mengganti Ketua PPP dengan sahabat dekatnya, Naro. Pergantian pengurus diselenggarakan tanpa rapat dan muktamar. Naro langsung mengumumkan dirinya sebagai ketua baru.

Konfrontasi serius dengan pemerintah juga terjadi pada Pemilu 1977. R. William Liddle (1978) mencatat bahwa kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara Islam dan rezim Orde Baru. Pihak militer dan penguasa sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal dan berani.

Dalam situasi tersebut, Kiai Bisri bersikap tegas dan mengeluarkan fatwa yang menyatakan setiap Muslim wajib hukumnya memilih PPP. Meskipun beberapa kiai memihak ke Golkar, tapi NU terbukti mampu mempertahankan disiplin internal yang kuat.

Martin van Bruinessen (1994) mencatat bahwa PPP telah menampilkan diri dengan baik dalam Pemilu 1977 dan berhasil mendapat tambahan 5 kursi lebih banyak dari pemilu 1971. PPP memperoleh kemenangan yang penting secara psikologis dengan mengalahkan Golkar di ibukota. Di Jakarta mereka mendapatkan dukungan suara yang sangat besar, dan bahkan meraup suara mayoritas mutlak di Aceh.

Meskipun kerap dikecewakan dan disingkirkan oleh rezim Orde Baru, sikap kritis para ulama NU terhadap pemerintahan Soeharto tidak surut. Di sini NU mempunyai peran penting dalam membangun keadilan sosial dan demokrasi yang baikbagi bangsa ke depannya.

Walaupun pada akhirnya di tahun 1984 NU harus kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, bukan lagi sebagai partai politik. Namun peran politik kebangsaan dan politik kerakyatan masih terus dijalankan oleh NU. (Fathoni)