Fragmen

Sejumlah Propaganda Jepang yang Memantik Perlawanan Rakyat Indonesia

Kam, 17 Agustus 2017 | 00:01 WIB

Sejumlah Propaganda Jepang yang Memantik Perlawanan Rakyat Indonesia

Tentara Jepang (ist).

Kalangan pesantren tidak henti-hentinya mengobarkan perlawanan kepada penjajah. Pada era penjajahan Belanda selama ratusan tahun, para kiai beserta santrinya mampu mempertahankan martabat pribumi melalui perlawanan simbolik maupun substantif.

Bahkan segala cara dilakukan oleh Belanda untuk dapat menundukkan para kiai pesantren. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari seorang amtenar (utusan pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan tanda jasa berupa Bintang Jasa yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan tegas kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu.

Pondok pesantren dengan komitmen cinta tanah airnya yang membuncah membuat Belanda tak berkutik. Begitu pun ketika bangsa Indonesia mulai dijajah oleh Jepang (Nippon) pada tahun 1942. Rakyat pribumi tak sedikit yang harus mengikuti peraturan Jepang karena konsekuensi pedih akan didapat jika melawan.

Namun tidak demikian dengan kalangan pesantren. Tidak ada sedikit pun rasa gentar dari para kiai dan santri ketika harus menghadapi fitnah dan propaganda Jepang untuk menundukkan pesantren. Termasuk yang menjadi target utama Jepang, yaitu KH Hasyim Asy’ari. Mereka menuduh Kiai Hasyim sebagai dalang pemberontakan rakyat kepada Jepang di desa Cukir, sekitar Jombang, Jawa Timur. Padahal Kiai Hasyim tidak tahu menahu.

Bukan hanya Kiai Hasyim, tragedi pada tahun 1943 tersebut sejumlah kiai yang mengkomandoi Jam’iyah Nahdlatul Ulama juga ditangkap yaitu KH Mahfudz Shiddiq. Hal ini memantik perlawanan ribuan santri kepada Jepang untuk membebaskan Sang Kiai. Sedangkan KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Abdul Wahid Hasyim berupaya keras melakukan diplomasi dengan tujuan yang sama.

Meskipun Kiai Hasyim pada akhirnya bebas, namun tahun pertama dalam masa pendudukan tentara Nippon, Maret 1942-Maret 1943 ditandai oleh tumbuhnya kebencian rakyat kepada tingkah serdadu-serdadu Nippon dan rasa muak terhadap propaganda Nippon. KH Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren, 2013) mengungkap sejumlah penyebab kebencian dan rasa muak rakyat Indonesia kepada Jepang sebagai berikut:

Pertama, terbukanya kebohongan propaganda Tokyo bahwa Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Nippon.

Kedua, mendirikan ketenteramana yang teguh atas dasar mempertahankan Asia Raya, tak lain dan tak bukan hanya menjadikan Indonesia sebagai tanah jajahan sekaligus sebagai daerah garis belakang (home front) sumber tenaga manusia dan bahan mentah serta gudang logistik bagi tentara Nippon di medan perang Pasifik dan Asia Tenggara.

Ketiga, kebencian rakyat adalah spontanitas akibat keserakahan Nippon merampas bahan makanan dan harta benda rakyat. Suatu slogan berbunyi: “padi untuk saya, untuk kami, dan untuk kita sekalian” membuka kedok keserakahan mereka. 

Nippon harus mendapat makan tiga kali. Pertama kali sebagai saya (Nippon), kedua sebagai kami (Nippon ikut mendapat bagian kedua), ketiga sebagai kita (Nippon ikut mendapat bagian yang ketiga). Sedangkan untuk engkau dan kamu (rakyat Indonesia) tidak dipikirkan.

Keempat, kerja paksa berupa romusha. Kendati dirayu dengan sebutan “prajurit ekonomi” pada hakikatnya adalah kuli paksa. Hal ini tak ubahnya pekerjaan rodi di zaman Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels pada 1762-1818, yang memaksa rakyat di Jawa membuat jalan raya sepanjang Anyer-Banyuwangi dengan pengawasan tangan besi, bahkan romusha lebih kejam lagi dibanding rodi.

Daendels hanya mengerahkan rakyat untuk proyek di Tanah Jawa. Tapi romusha adalah kuli-kuli paksa yang diperintahkan dengan tangan besi untuk mengerjakan proyek-proyek peperangan bukan hanya di Jawa dan di Indonesia, tetapi juga di Burma (Myanmar), Indochina, Malaya, Kepulauan Pasifik, dan tempat-tempat lain yang dirahasiakan. 

Tragedi ini memisahkan mereka dengan keluarga. Bahkan tidak sedikit yang tidak diketahui nasibnya. Hal ini membuat rakyat Indonesia yang menjadi romusha juga banyak yang menetap di Thailand dan Burma serta menjadi warga negara tetap di sana.

Kelima, tenaga kerja perempuan yang dijanjikan Nippon untuk tugas palang merah, kenyataanya banyak yang dijadikan alat pemuas nafsu serdau-serdadu Nippon di medan perang.

Terakhir keenam yaitu perkosaan lebih dahsyat lagi adalah dari segi akidah, keyakinan Islam. Karena saat itu rakyat Indonesia tanpa kecuali diwajibkan setiap pagi menghadap ke arah istana Kaisar Jepang di Tokyo untuk melakukan upacara saikeirei, menyembah kaisar Jepang yang disebut Tenno Heika. Menurut kepercayaan Jepang, Tenno Heika adalah keturunan dari Dewa Matahari, Amaterasu O. Mikami yang mahakuasa.

Saikeirei dilakukan dengan cara membungkukan badan 90 derajat, persis seperti rukuk di dalam sholat. Sedangkan membungkuk dengan tujuan menyembah tersebut di dalam Islam hukumnya kufur dan haram sehingga wajib ditentang. Hal ini juga terjadi ketika Kiai Hasyim Asy’ari meringkuk di penjara Jepang selama lima bulan. Setiap pagi seluruh tahanan harus melakukan saikeirei, namun Kiai Hasyim dengan tegas menolak. (Fathoni Ahmad)