Fragmen

Shumubu, Embrio Berdirinya Kementerian Agama

Kam, 21 Maret 2019 | 10:45 WIB

Shumubu, Embrio Berdirinya Kementerian Agama

Kantor Belanda untuk Shumubu (Dok. KTLV)

Perjuangan seluruh elemen bangsa Indonesia, terutama umat Islam dalam melawan penjajah memberikan efek kejut yang luar biasa, baik saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda maupun Jepang (Nippon). Jepang masuk ke Indonesia pada Maret 1942 tepatnya setelah meruntuhkan kolonialisme Belanda.
 
Mengaku sebagai ‘suadara tua’ kepada rakyat Indonesia, kenyataannya Jepang tidak berbeda dengan pendahulunya, Belanda. Keberadaannya di Indonesia tak kurang kejam dibanding Belanda. Mereka tak segan menangkap, menyiksa, dan menghabisi rakyat yang tidak mendukung eksistensi Pemerintahan Nippon dengan segala sistemnya.
 
Bahkan, seperti yang dilakukan juga oleh Belanda, Jepang memberikan perhatian dan sorotan khusus terhadap gerak-gerik masyarakat Islam. Cara pengawasannya hampir sama, yaitu dengan mengirimkan orang khusus yang bertugas mongorek segala sesuatu tentang informasi pergerakan umat Islam. Pihak Belanda menugaskan Snouck Hurgronje yang juga dikenal sebagai Abdul Ghaffar sebagai mata-mata. Sedangkan Jepang ada Abdul Hamid Ono, Muhammad Shaleh Suzuki, dan Abdul Mun’im Inada.
 
Sadar bahwa model spionase tidak banyak membantu, bahkan semakin membuat umat Islam melakukan pergerakan masif, Jepang menggunakan siasat lain. Mereka menginginkan seluruh umat Islam dari lintas kelompok dan organisasi diwadahi menjadi satu. Jepang membentuk Kantor Jawatan Agama (Shumubu).
 
Salah satu perhatian besar Pimpinan Tentara Jepang ialah sosok ulama kharismatik, Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk memimpin Shumubu. Nouruzzaman Shiddiqi dalam Menguak Sejarah Muslim (1983) mengungkap bahwa tiga orang Jepang yang sudah haji, Abdul Hamid Ono, Muhammad Shaleh Suzuki, dan Abdul Mun’im Inada awalnya ditunjuk oleh Jepang dalam pembentukan Shumubu.
 
Setelah ditangkap Jepang karena dituduh memberontak lalu menghabiskan sekitar empat bulan dengan siksaan pedih di penjara, Kiai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja menyerah dalam upaya diplomasi kemerdekaan Indonesia. Putranya KH Wahid Hasyim senantiasa mendampingi beliau, termasuk saat Kiai Hasyim Asy’ari diundang pertemuan dengan Pimpinan Tentara Jepang di Jakarta untuk membahas pembentukan Shumubu.
 
Perjuangan KH Hasyim Asy’ari beserta Gus Wahid Hasyim dan para ulama pesantren tidak hanya memperkuat spiritualitas, tetapi juga menanamkan cinta tanah air dan spirit nasionalisme yang tinggi. Kharisma tersebut membuat Kiai Hasyim Asy’ari ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin Shumubu yang dibentuk Jepang pada Mei 1942. Tetapi Hadhratussyekh menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada Kiai Wahid Hasyim. Selanjutnya, Kiai Wahid berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (Shumuka) yang dipimpin oleh seorang Shumuka-cho.
 
Catatan Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan bahwa visi Kiai Wahid Hasyim membentuk Shumuka-cho tidak lain untuk memperkuat konsolidasi urusan-urusan agama di daerah bagi keperluan perjuangan bangsa Indonesia secara umum. Sebelumnya, Kiai Wahid memang melakukan diplomasi dengan Jepang untuk mendirikan Shumuka meskipun pada awalnya berdiri hanya di Jawa dan Madura.
 
Setelah potensi umat Islam terbina dengan baik melalui jalur Masyumi, Hizbullah, Shumubu, dan Shumuka, Kiai Wahid Hasyim kembali memusatkan perhatiannya pada janji kemerdekaan yang dipidatokan oleh Perdana Menteri Jepang Kunaiki Koiso pada 7 September 1944. Di sini terlihat kepiawaian Kiai Wahid Hasyim dalam menyikapi pembentukan Shumubu oleh Jepang.
 
Tujuan Jepang untuk menampung umat Islam ke dalam sebuah wadah dan menarik ulama ke struktur birokrasi agar mudah dikontrol justru dimanfaatkan oleh Kiai Wahid Hasyim untuk membentuk Kantor Jawatan Agama di berbagai daerah, tujuannya memperkuat konsolidasi dan transfer informasi. Transfer informasi ke sejumlah Shumuka terkait pergerakan Jepang ini penting untuk kemudian disampaikan ke masyarakat secara luas.
 
Sejarawan mencatat, pembentukan Shumubu menguntungkan bangsa Indonesia, baik di bidang sosial-keagamaan, pendidikan maupun politik. Administrasi Shumubu ternyata memberikan banyak manfaat bagi umat Islam pasca-kemerdekaan. Sebab itu, Shumubu lalu ditetapkan sebagai departemen independen pada 3 Januari 1946. Kemudian lembaga ini ditetapkan sebagai Departemen Agama yang lalu beralih nama menjadi Kementerian Agama dengan KH Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pertama. (Fathoni)