Fragmen HAUL KE-43 KH WAHAB CHASBULLAH

Sorban Diponegoro Kiai Wahab Chasbullah

Jum, 5 September 2014 | 13:02 WIB

Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia Haul ke-43 KH A Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala situasi.  Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau perjalanan.
<>
Di buku berjudul KH Abdul Wahab Chasbullah; Dari Pesantren untuk Indonesia tersebut, suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa sorban, kenapa sih?”

“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai Wahab.

Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen tergelak, tapi kemudian terdiam.

Menurut sejarawan Choirul Anam pada sarasehan dan bedah buku KH Abdul Wahab Chasbullah; Kaidah Berpolitik dan Benegara karya H Abdul Mun’im DZ di aula Pondok Pesantren Bahrul Ulum Rabu (3/9) lalu, silsilah keturunan Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro di sektor timur (1825-1830).

Pria yang akrab disapa Cak Anam menambahkan, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap kemudian dibuang Belanda, Kiai Abdus Salam menarik mundur pasukannya hingga ke Jombang (desa Gedang). Kemudian ia menetap di situ dan membangun pesantren.

Cak Anam menyebut lagi silsilah Kiai Wahab ke atas, Kiai Abdus Salam merupakan putra Pangeran Samb bin Pangeran bbenowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI.

“Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat,” tambahnya. (Abdullah Alawi)