Melihat kenyataan itu para ulama banyak yang melarang anaknya masuk sekolah umum, sebab khawatir para pemuda menjadi Blandis (kebelanda-belandaan). Dikatakan bahwa masuk sekolah Belanda berarti menjadi sikuning Allah (bertolak belakang dengan ajaran Allah). Memang dalam kenyataannnya kaum intelek hasil sekolah Belanda banyak menentang norma agama, baru ketika mereka melahirkan anak, sunat atau kematian mereka memerlukan agama. Kiai hanya diperankan sebagai juru doa, kalau itu diperlukan mereka.
Kalangan aktivis pergerakan seperti Ki Hadjardewantara maupun Dr Soetomo mengecam kaum cendekiawan didikan Belanda itu. Mereka dituduh sebagai orang yang individualistic mencari kekayaan tidak wajar tak mampu menyesuaikan dengan alam hidup bangsa sendiri. Mereka meyalahgunakan rasio, sehingga meremehkan susila, sehingga ikut Belanda menindas dan menghisap rakyat sendiri tanpa belas kasihan.
Tetapi dengan gigih para santri dan kiai melawan ordonasi tersebut, sehingga keputusan itu ada tetapi tidak mampu membendung semangat dakwah para kiai. Sesuai dengan karekter bangsa ini pendidikan Islam yang murah dan sesuai dengan kehendak rakyat dan tuntunan tradisi itu maka pesantren berkembang pesat yang kemudian tumbuh menjadi basis perlawanan terhadap penjajah. Saat itu datang Bung Karno dan Para aktivis lain, sehingga bisa menyatukan kelompok cendekiawan dan santri. Persatuan santri intelektual itu yang bisa menumbangkan penjajahan Belanda. (Mun’im DZ)
Disadur dari buku "Peringatan 20 tahun Indonesioa Merdeka", Departemen Penerangan RI, Jakarta: 1965.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua