Fragmen

Subhan ZE, “Orang Luar” di Lingkaran NU

Ahad, 23 April 2017 | 01:00 WIB

Subhan ZE, “Orang Luar” di Lingkaran NU

Presiden Soeharto dan Subhan ZE Sholat Ied di halaman Istana Negara tahun 1969

Menelusuri jejak politik Subhan ZE, seolah menapaki jalan panjang penuh misteri. Alur hidup Subhan, sebagai aktifis NU yang menjadi rujukan kaum muda, sampai kini masih belum terungkap sepenuhnya. Di tengah kabut misteri itu, menyimak Subhan dengan segala kontroversinya, seakan menjadi petualangan penting.

Sosok Subhan, menjadikan NU sebagai poros penting pada zamannya. Ia menjadi rujukan anak-anak muda lintas agama dan ideologi, tidak hanya kaum sarungan namun juga kaum muda Tionghoa dari Katolik dan Kristen. Dalam sepak terjangnya, Subhan benar-benar mampu menjadikan dirinya sebagai referensi kepentingan dan kekuasaan.

Menurut Martin van Bruinessen, Subhan ZE merupakan pemimpin NU yang mengambil peranan penting dalam mengorkestrasi rangkaian demonstrasi yang mengantarkan kelahiran Orde Baru. "Subhan adalah 'orang luar' di dalam NU, yang walaupun usianya masih muda, sejak pertengahan tahun 1950-an telah menjadi ahli terkemuka dalam masalah ekonomi," tulis Martin, dalam karyanya NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (hal. 91). Dalam risetnya, Martin mengungkap betapa Subhan sebenarnya menjadi perantara budaya dan sosial, yang menjadi aset besar Nahdlatul Ulama.

Martin menegaskan bahwa Subhan merupakan sosok penting bagi NU, terutama pada momentum pergantian kekuasaan dari Orde Soekarno menuju rezim Soeharto. Martin juga mengkritik sosok Subhan, sebagai pribadi yang kepentingan bisnisnya diuntungkan oleh pengaruh politik dan koneksinya yang baru. "Tetapi, dia tidak pernah menunjukkan ketamakan membabi buta yang melanda begitu banyak orang segenerasinya," demikian ungkap Martin. Dalam ulasannya, Martin juga mengkorfirmasi bahwa Subhan termasuk sosok yang murah hati menyediakan dana untuk kegiatan organisasi, tanpa mengharap imbalan.

Jika beberapa pengurus NU kompromis terhadap Orde Baru, semisal Ahmad Syaikhu dan Kiai Idham Cholid, tidak demikian dengan Subhan ZE. Bahkan, Ali Moertopo—seorang petinggi intelijen di lingkaran Soeharto—melakukan operasi-operasi khusus untuk memasuki lingkaran pengaruh di tubuh Nahdlatul Ulama. Moertopo menggunakan alat politik dan militer, untuk “mendukung” Kiai Idham Chalid agar menang dalam persaingan dengan beberapa lawan politiknya.

Pada masa menjelang Pemilu Orde Baru yang pertama pada 1971, Subhan tampil sebagai sosok yang sangat kritis terhadap Soeharto. Langkah politik Subhan, menjadikan NU sebagai partai politik yang terlihat paling kritis. Gerakan politik dan zig-zag kultural Subhan, secara langsung berkonfrontasi dengan Golkar, serta tokoh militer-intelijen: Ali Moertopo dan Amir Machmud.

Pada masa kampanye, banyak sekali teror yang ditujukan kepada warga, terutama komunitas santri. Teror ini dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata dan birokrasi pemerintah, agar memilih partai Golkar sebagai tulang punggung Orde Baru. Namun, Subhan dan pendukungnya tidak tinggal diam. Ia menyusun strategi dan kampanye agar warga tidak takut menghadapi ancaman dari militer.

Pada Pemilu 1971, Golkar tampil sebagai pemenang, dengan mengumpulkan 62,8 % dari keseluruhan suara. Kemenangan Golkar tidak lepas dari gerakan massif Angkatan Bersenjata, sekaligus langkah-langkah politik pemerintah Orde Baru. Namun, sebagai representasi kubu Islam, suara Partai NU juga mengalami peningkatan, dari 18,4 persen menjadi 18,67 %. Tentu saja, keberhasilan NU mempertahankan basis pemilih bahkan meningkatkan perolehan suara, karena terampilnya Subhan ZE menyusun strategi politik. Perolehan suara NU, disusul Parmusi dengan 7,365%, PNI sebanyak 6,49 %, Perti 2,39 %, dan PSSI mendapat 0,70 %.

Kemenangan Golkar menjadikan partai ini mendapatkan 236 kursi di DPR, serta 100 kursi Karya ABRI dan non-ABRI. Dengan 336 kursi dari jumlah keseluruhan 460 kursi di DPR RI, Golkar menjadi pemenang mutlak yang menyingkirkan pesaingnya. Hal ini berbanding jauh, dari para pesaingnya. Jika suara-suara dari partai Islam digabung, hanya mendapatkan 20,3 % suara, atau 94 kursi. Dari 94 kursi itu, NU hanya mendapatkan 58 kursi atau 61,7 % (Zahro, 2004: 61).

Menanggapi hasil Pemilu 1971, kubu Partai NU melihat banyak kecurangan. Subhan ZE, sebagai Ketua I PBNU, memohon kepada Idham Chalid (Ketua Umum PBNU) agar menarik pencalonan dirinya sebagai Ketua DPR/MPR karena tidak puas atas hasil pemilu. Sedangkan, Parkindo dan Partai Katolik, sebagai sarana aspirasi politik kelompok Kristen Protestan dan Katolik, menerima kenyataan kalah, termasuk di wilayah basis masa kaum Kristen (Aritonang, 2004: 376).

Pemilu 1971 merupakan kisah pedih yang menjadi tanda dimulainya tapak kekuasaan Soeharto. Dengan menggunakan jaringan politiknya, Orde Baru kemudian meminggirkan Nahdlatul Ulama, yang dianggap sebagai kekuatan politik utama yang berpotensi menyaingi Golkar. Di tengah arus perubahan itu, Subhan ZE terbuang, nyawanya melayang. Ia meninggal di tanah suci, di tengah kecelakaan yang sampai sekarang masih berselimut misteri.

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, sedang menulis buku “Silang Sejarah Subhan ZE” (email: [email protected]