Fragmen

Tiga Dahlan dalam Sejarah Kepengurusan PBNU

Kam, 23 Februari 2017 | 23:01 WIB

Tiga Dahlan dalam Sejarah Kepengurusan PBNU

Kantor PBNU Kramat Raya. (Dok. Istimewa)

Dalam sebuah artikel sejarah yang dimuat di Rubrik Fragmen NU Online, Ketua LTN PCNU Surabaya Rizal Mumazziq Z menulis tentang enam nama Kiai Dahlan yang dirangkai dengan konsep Thabaqah Ulama Nusantara.
 
Dalam tulisan yang diterbitkan Rabu 14 Februari 2017 itu, Rizal mengupas tentang kerancuan penyebutan nama Kiai Dahlan saking banyaknya nama tersebut dalam sejarah ulama di Indonesia sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman.
 
Enam nama Kiai Dahlan dalam tulisan tersebut di anataranya, KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (pendiri Persyarikatan Muhammadiyah), KH Ahmad Dahlan bin Muhammad Achyad Kebondalem Surabaya, KH Dahlan bin Abdullah Attarmasi Assamarani, ahli falak yang merupakan adik kandung Syekh Mahfudz Attarmasi. Kiai Dahlan Achyad kemudian diambil mantu oleh KH Sholeh Darat.
 
Nama Kiai Dahlan selanjutnya yang diterangkan dalam tulisan tersebut ialah KH Dahlan bin Abdul Qohar asal Kertosono Nganjuk, salah satu kiai yang membidani kelahiran NU. Kemudian KH Mohammad Dahlan, Ketua PBNU dan Mantan Menteri Agama.
 
Berangkat dari artikel tersebut, penulis bermaksud mengemukakan 3 nama Kiai Dahlan yang pernah aktif dan berjuang dalam kepengurusan PBNU. Kompilasi singkat dari ketiga Dahlan dalam struktural PBNU ini penting meskipun berbagai sumber dan literatur telah banyak mencatat dan meriwayatkan perjuangan mereka.
 
Pertama, KH Achmad Dahlan bin Muhammad Achyad. Kiai Dahlan yang satu ini pada tahun 1926 termasuk salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mendampingi KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah serta kiai-kiai lain. Kiai yang sering disebut dengan nama KH Dahlan Achyad ini semasa hidupnya pernah menjabat Wakil Rais Akbar NU mendampingi Mbah Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
 
Kiai Dahlan Achyad lahir pada 13 Muharram 1303 H yang bertepatan dengan tanggal 30 Oktober 1885 di Kebondalem Surabaya, sebuah wilayah yang berada di Kecamatan Simokerto, sebelah timur makam Raden Rahmatullah Sunan Ampel, Kiai Dahlan merupakan putra keempat dari enam bersaudara.
 
Beliau adalah aktivis pergerakan yang membidani beberapa embiro NU lewat gerakan pemikiran, seperti Tashwirul Afkar. Beliau juga menulis beberapa risalah yang berupaya membendung  perdebatan furuiyah antara kaum pembaharu dan kaum tradisionalis yang meruncing di era 1920-an.
 
Kedua, KH Dahlan bin Abdul Qohar. Seorang ulama yang sempat menamatkan pendidikan HIS (sekolah dasar dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda). Dari latar belakang pendidikan dasarnya itu, Kiai Dahlan yang satu ini merupakan satu-satunya ulama dalam PBNU pada zaman itu yang menguasai Bahasa Belanda, disamping Bahasa Arabnya yang sangat baik.
 
Namun demikian, barangkali hanya KH Mohamad Ilyas saja kala itu yang menyamai KH Dahlan bin Abdul Qohar sesama ulama di struktural PBNU yang berkesempatan menamatkan pendidikan HIS.
 
Rizal Mumazziq mencatat, KH Dahlan bin Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono Nganjuk yang ikut membidani kelahiran NU. Karib KH Abdul Wahab Chasbullah ini bersama Syaikh Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu Suud, mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui wadah Komite Hijaz beberapa saat sebelum NU berdiri.
 
Ketiga, KH Mohamad Dahlan. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd Dahlan, beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal berdirinya bersama KH Abdullah Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang dianugerahi suara merdu ini juga menjabat sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi Menteri Agama (menggantikan KH Saifuddin Zuhri) di awal Orde Baru. 
 
Kiprah yang paling menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ). Bersama KH Ibrahim Hosen, Prof Mukti Ali, KH Zaini Miftah, dan KH Ali Masyhar merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat hingga akhir hayatnya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.
 
Sebagai birokrat dan pengurus PBNU, beliau merupakan tokoh yang gigih dan konsisten dalam melahirkan sejumlah gagasan cemerlang. Kalau KH Wahid Hasyim membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Mohamad Dahlan mempelopori berdirinya organisasi Wanita NU yakni Muslimat. Bahkan dengan kegigihannya akhirnya bisa meyakinkan Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.
 
Ketika menjabat Menteri Agama (1967-1971), Kiai Dahlan yang memelopori musyawarah antarumat beragama untuk menjaga kerukunan sesamanya. Selain gagasan mendirikan MTQ dan PTIQ, ia pula yang berjasa mengangkat ribuan guru-guru agama melalui Ujian Guru Agama (UGA) pasca peristiwa 1965 sebagai konsekuensi semakin disadarinya bahwa berkembangnya ajaran komunisme akibat kurangnya pelajaran agama di sekolah-sekolah.
 
Tampilnya Dahlan di gelanggang pergerakan dimulai tahun 1930. Dialah tokoh yang merintis terbentuknya organisasi NU Cabang Bangil, sekaligus menjadi ketuanya. Lima tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua NU Cabang Pasuruan. Berkat kepemimpinan dan integritas kepribadian yang dimilikinya, pada tahun 1936 ia dipercaya untuk  menjadi Konsul NU Daerah (wilayah) Jawa Timur yang berkedudukan di Pasuruan saat itu.
 
Itulah riwayat singkat tiga nama Kiai Dahlan yang pernah aktif dalam struktural PBNU hasil dari kompilasi sejumlah tulisan sejarah yang selama ini memang sudah tertulis dalam berbagai artikel dan literatur. Tentu kiprah ketiga Dahlan tersebut bukan semata-mata menampilkan nama tokoh, tetapi keteladanan dalam berjuang membesarkan organisasi untuk mewujudkan kemaslahatan untuk umat. Wallahu A’lam.
 
(Fathoni Ahmad)
 
Sumber:
Majalah Risalah Islamyah, edisi No. 4-IX-1977.
Wasid Mansyur, Biografi Kiai Ahmad Dahlan: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja, Penerbit Pustaka Idea, 2015.
Rizal Mumazziq Z, Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara, 2017.