Fragmen

Wayang-wayang Sunan Kalijaga dan Pandangan Berbeda dari Sunan Ampel

Sab, 19 Februari 2022 | 07:00 WIB

Wayang-wayang Sunan Kalijaga dan Pandangan Berbeda dari Sunan Ampel

Ilustrasi wayang. (Foto: NU Online/Mahbib)

Dakwah Wali Songo lekat dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Salah satu anggota Wali Songo yang akrab dengan tradisi dan budaya dalam menyebarkan Islam adalah Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Bahkan salah satu murid Sunan Bonang ini kerap menciptakan tembang dan karya-karya seni lain, salah satunya wayang untuk menarik minat masyarakat secara tidak langsung untuk mempelajari Islam.


Sunan Kalijaga amat mahir mendalang dan menggelar pertunjukan wayang. Sebagai dalang, ia dikenal dengan julukan Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, atau Ki Unehan. Berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya, Sunan Kalijaga tidak mematok tarif bagi yang ingin menyaksikan pertunjukan beliau, melainkan cukup dengan menyebut Kalimosodo atau dua kalimat syahadat sebagai tiket masuknya.


Dengan begitu, orang-orang yang menyaksikan pertunjukan wayang Sunan Kalijaga sudah masuk Islam. Berkat kelihaian Sunan Kalijaga berbaur, lambat laun masyarakat setempat mengenal Islam pelan-pelan dan mulai menjalankan syariat Islam.


Dalam pertunjukannya, terdapat banyak lakon digubah Sunan Kalijaga yang diadaptasi dari naskah kuno, salah satu yang paling digemari adalah lakon Dewa Ruci, Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja, dan lain sebagainya.


Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga menambahkan karakter-karakter baru seperti punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng. Selain menggelar pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga juga menggubah tembang-tembang yang sarat dengan muatan keislaman, seperti Kidung Rumeksa ing Wengi, Ilir-ilir, dan lain sebagainya.


Sejarawan Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2012) menjelaskan, selain sebagai dalang dan penggubah tembang, Sunan Kalijaga juga berkreasi sebagai seniman dan penari topeng, perancang pakaian, perajin alat-alat pertanian, hingga penasihat sultan dan kepala-kepala daerah di masa itu.


Sunan Kalijaga menikahi Siti Zainab, adik Sunan Gunung Jati. Istrinya yang lain adalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak. Dari istri-istrinya itu, Sunan Kalijaga memperoleh beberapa anak, di antaranya adalah Watiswara atau Sunan Penggung dan Sunan Muria.


Kedua anaknya itu melanjutkan dakwah yang dirintis Sunan Kalijaga. Tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan Sunan Kalijaga meninggal dunia. Makamnya terletak di Desa Kadilangu, kira-kira berjarak 3 km dari Masjid Agung Demak.


Namun demikian, model dakwah yang digagas oleh Sunan Kalijaga sempat mendapat pandangan yang berbeda dengan para wali lain. Suatu ketika, dalam rapat dewan wali untuk membahas strategi dakwah Islam, Sunan Ampel yang kala itu menakhodai Wali Songo sempat tidak setuju menggunakan instrumen tradisi dan budaya masyarakat dalam menyebarkan Islam. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).


Kekhawatiran ini dipahami betul oleh Sunan Kalijaga, karena Sunan Ampel tidak ingin ajaran Islam terlalu bercampur dengan budaya dan tradisi masyarakat. Seketika itu pula Sunan Kalijaga memberikan argumentasinya bahwa Islam tidak akan tercampur dengan budaya dan tradisi, melainkan Islam akan memberikan ruh terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut.


Islam 100 persen tetap pada ajarannya dan masyarakat pun tetap dapat menjalankan tradisinya, selama tradisi dan budaya masyarakat tersebut tidak merusak martabat kemanusiaan. Argumentasi Sunan Kalijaga akhirnya mendapat respon positif dewan wali sehingga agama Islam terus berkembang di tengah masyarakat.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muhammad Faizin