Hikmah

Pemimpin China yang Bijak yang Tuli

Sen, 3 Juli 2017 | 08:00 WIB

Suatu hari seorang zahid (Darwisy) datang ke istana Khalifah. Ia  diundang untuk dimintai nasihatnya. Khalifah mengatakan: “Beri aku nasihatmu”.

Sang zahid kemudian mengatakan: “Wahai Amir al-Mukminin, aku baru pergi ke negeri China. Pemimpin negeri itu mengalami sakit pendengaran (tuli). Ia tak bisa mendengar lagi. Suatu hari aku mendengar dia menangis sambil mengatakan: ‘Demi Tuhan, aku tidak pernah menangis karena menderita sakit tuli ini. Aku tak menyesali dan telah menerima keputusan Tuhan atas diriku seperti ini. Tetapi aku menangis karena melihat di depan pintu istanaku ada rakyatku yang teraniaya hak-haknya. Dia tampaknya menjerit meminta tolong, tetapi aku tidak mendengar jeritannya. Meskipun demikian aku bersyukur kepada Tuhan karena mataku masih sehat, sehingga bisa melihat dengan jelas rakyatku’. Sang Pemimpin Cina lalu memanggil juru bicara kerajaan,  dan memintanya untuk mengumumkan kepada khalayak rakyat bahwa: ‘jika di antara rakyatnya ada yang dizalimi, maka agar mengenakan baju merah’.”

“Sang Pemimpin kemudian naik di atas punggung gajah dan berkeliling menyusuri jalan-jalan di pelosok-pelosok negeri itu. Manakala matanya melihat orang berbaju merah dia memanggilnya. Kepada juru bicaranya, sang pemimpin memerintahkan agar ia mendengarkan keluhan dan pengaduannya. Sesudah itu sang pemimpin memerintahkan para menterinya untuk segera memperhatikan pengaduannya dan menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang adil.”

Si Darwis mengatakan: “Lihatlah tuan Amir al-Mukminin, betapa dia yang ‘kafir’ (menurut keyakinanmu, Red) begitu sayang dan memberikan perhatian yang luar biasa kepada hamba-hamba Allah. Tuan adalah seorang yang beriman kepada-Nya, bahkan juga termasuk keturunan atau keluarga Nabi. Aku ingin melihat bagaimana tuan bisa bertindak terhadap rakyatmu dengan penuh kasih, (seperti dia).”

KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon. Tulisan diambil dan diterjemahkan dari kitab "Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk" karya Imam al-Ghazali, h. 24.