Orang-orang hampir sekampung tumpah-ruah ke masjid jami di kampung itu. Mereka datang dengan membawa kemarahan dan siap memaki. Di antara mereka bahkan ada yang membawa senjata tajam dan pentungan siap hantam seperti hendak menghadapi maling motor tetangga.
Pasalnya mereka mendengar kumandang azan melalui pengeras suara. Padahal waktu baru pukul 10.00. Shalat dzuhur masih jauh. Shalat subuh juga telah jauh berlalu, tidak alasan secuil pun untuk dikatakan terlambat. Sementara shalat sunat dhuha, dimana pun tak perlu kumandang azan.
Mereka datang ke masjid itu dengan tergesa supaya tidak ketinggalan momentum. Malah ada yang setengah berlari. Laki perempuan, tua-muda berhamburan.
Sementara azan terus berkumandang sebagaimana biasanya seperti tak ada persoalan sama sekali.
"Lha ini kenapa ada azan jam sepuluh pagi?" tanya salah seorang sambil merebut mikropon muazin.
"Kamu mimpi ya?" tanya yang lain sebelum mendapat jawaban muazin.
"Ini bisa jadi aliran sesat!" tegas yang lain.
"Iya, ini aliran sesat!"
"Kamu sekarang ikut aliran sesat!"
"Kafir!" seru seseorang sambil mengangkat pentungan.
Padahal mereka tahu muazin itu adalah tetangganya sendiri. Sangat mengenalnya. Muazin itu tiap hari mengumandangkan azan dan kadang menjadi imam shalat. Pekerjaan sehari-harinya sebagaimana mereka sendiri, bertani.
"Kamu sekarang ikut aliran sesat?" tanya salah seorang yang paling tua di antara mereka. Nadanya tidak sekeras orang-orang sebelumnya.
"Lha justru saya mau bertanya kepada kalian semua. Apakah kalian ikut aliran sesat? Saya azan setiap waktu shalat mulai dhuhur, ashar, maghrib, isya sampai subuh, kalian tidak ada yang datang. Lalu kenapa azan pukul sepuluh kalian datang? Jadi, yang sesat siapa?" (Abdullah Alawi)