Pada sekitar tahun 1970-an dan 1980-an, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) banyak menuangkan pemikiran dan gagasan lewat tulisan di media massa. Progresivitas pemikirannya banyak menginspirasi sejumlah kalangan.
Namun, perilaku santai tetap ditunjukkan oleh Gus Dur dalam momen-momen krusial menurut orang lain. Saat itu Gus Dur diundang menjadi salah satu narasumber untuk membincang Islam dan Negara, Islam dan Kebangsaan, serta Islam dan Demokrasi.
Gus Dur tampil dengan pemikiran dan gagasannya yang brilian, sebagaimana biasanya dalam setiap foum yang ia ikuti. Gus Dur mengurai satu per satu konsep yang pernah ada dan pernah dibicarakan oleh pemikir dan cendekiawan Muslim dunia.
Tak hanya menguraikan, Gus Dur juga menyampaikan kelebihan dan dan mengkritik kekurangan pemikiran mereka masing-masing. Tetapi, dari uraian tersebut, Gus Dur mengakhiri pemaparannya dengan kesimpulan yang cukup membingungkan para peserta seminar.
Saat itu, Matori Abdul Jalil yang mendampingi Gus Dur merasa resah dan gelisah. Dia khawatir Gus Dur diserang habis-habisan oleh para pakar yang hadir dan tidak bisa menjawabnya.
Karuan saja ada yang bertanya tentang, bagaimana konsep negara dalam Islam. Kekhawatiran Matori betul-betul mencuat. Pertanyaan jelasnya: Apakah ada konsep atau sistem dan bentuk negara menurut Islam?
Dari pertanyaan tersebut Gus Dur menjawab dengan santai: “Itu yang belum saya rumuskan.” Hadirin terbahak. Tidak sedikit yang menilai bahwa jawaban Gus Dur luar biasa cerdas dan brilian, meski dengan cara jenaka.
Gus Dur ingin menegaskan bahwa Islam tidak mengatur formalisasi syariat ke dalam sistem negara. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk mendirikan negara Islam.
Agama Islam cukup dijalankan dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang, tak terkecuali bidang politik pemerintahan. Islam hendaknya menjadi jiwa dalam praktik berbangsa dan bernegara, bukan menjadi dasar negara. (Fathoni)