Internasional

15 Bulan Ditahan di Penjara Israel, Mahasiswi Palestina Akhirnya Dibebaskan

Rab, 2 Desember 2020 | 14:30 WIB

15 Bulan Ditahan di Penjara Israel, Mahasiswi Palestina Akhirnya Dibebaskan

Pemandangan Penjara Damon, Israel bagian utara pada 1 Agustus 2020. (Flash90/Moshe Shai via timesofisrael)

Tepi Barat, NU Online
Seorang mahasiswi Jurnalisme di Universitas Birzeit, Mays Abu Ghosh (22), dibebaskan dari penjara Israel pada Senin (30/11) kemarin, setelah 15 bulan dia ditangkap. Dia dilepaskan dari penjara Damon di pos pemeriksaan Jalameh, sebelah utara Kota Jenin, Tepi Barat yang diduduki secara ilegal.


Mays ditahan pihak Israel pada Agustus 2019 lalu dengan beberapa dakwaan. Dia didakwa sebagai anggota dari Kutub Mahasiswa Progresif Demokratik (Democratic Progressive Student Pole), sebuah persatuan mahasiswa yang dilarang oleh pemerintah militer Israel. Selain itu, Mays juga dituduh telah ikut dalam kegiatan mahasiswa melawan pendudukan Israel, berkomunikasi dengan ‘musuh’—dia ikut serta dalam konferensi tentang mengembalikan hak-hak Palestina, dan berkontribusi pada kantor berita yang diduga berafiliasi dengan Hizbullah. 


Atas hal itu, seperti diberitakan Aljazeera, Selasa (1/12), Mays didenda 2.000 shekels atau setara Rp8,6 juta dan ditahan di penjara Israel. Dia mengaku akan menceritakan apa yang terjadi dengannya selama di penjara.


“Saya ingin memberi tahu semua orang apa yang terjadi dengan saya selama masa interogasi dan penyiksaan. Bukan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada saya, tetapi untuk setiap orang Palestina yang tahu apa yang akan terjadi ketika Israel menangkap mereka,”katanya. 
  

Mays menceritakan kondisi di penjara, di mana kamera di sana menyala sepanjang waktu. Bagi dia, itu melanggar privasinya dan tahanan lainnya. Dari penjara, Mays membawa pesan dari narapidana perempuan lainnya, yaitu ‘persatuan nasional’.

 
Setelah dibebaskan, Mays mengatakan, dirinya ingin menyelesaikan studinya dan melanjutkan pelatihan medianya. Katanya, otoritas penjara mengancam mengisolasi tahanan yang melanjutkan studinya. 


“Kita (dengan para tahanan lainnya) membentuk sebuah program kecil untuk mempelajari filsafat, literatur Arab, dan puisi,” ujarnya. 


Beberapa kelompok hak asasi manusia mengatakan, Mays menceritakan kepada mereka tentang penyiksaan psikis dan psikologis yang dialaminya selama lebih dari sebulan di pusat interogasi Maskobiyeh—yang terkenal kejam- di Yerusalem. Menurut mereka, Mays dipaksa pada situasi yang membuatnya stress selama beberapa jam dan diancam akan mengalami kelumpuhan dan kerusakan mental ketika dia pulang nanti. 


“Mereka juga punya tuntutan terkait kondisi kehidupan, terutama yang menjalani hukuman lama,” ucapnya.


Sebelumnya, keluarga Mays sudah menjadi target dari pasukan Israel. Pada 2016, kakak laki-lakinya bernama Hussein dibunuh pasukan Israel karena dianggap telah melakukan serangan penikaman. Pasukan Israel kemudian menghancurkan rumahnya. Pada 2019, rumah Mays dirazia pasukan Israel. Karena menolak menyalakan laptop dan hanphone, pasukan Israel menutup mata Mays, memborgolnya, dan menangkapnya. Sebulan setelahnya, adik laki-lakinya, Suleiman, ditangkap—selama empat bulan tanpa dakwaan atau pengadilan- untuk menekan Mays agar mengaku. Tidak hanya itu, orang tua Mays juga dipanggil untuk diinterogasi.


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad