Internasional

Dampak Covid-19 terhadap Konflik di Timur Tengah

Ahad, 5 April 2020 | 19:00 WIB

Dampak Covid-19 terhadap Konflik di Timur Tengah

Ada tiga juta orang yang tinggal di zona gencatan senjata di Kota Idlib, Suriah barat laut. Mereka memiliki sedikit harapan dengan diberlakukannya gencatan senjata tersebut. (Ilustrasi: drorhan/iStock)

Jakarta, NU Online
Virus corona (Covid-19), yang mewabah di lebih dari 200 negara, telah mengubah tatanan dunia sebagaimana yang selama ini berjalan. Perdagangan global tertahan. Setengah dari populasi dunia terkurung. Sekolah, kantor, rumah ibadah, dan tempat hiburan ditutup. Berbagai macam agenda kegiatan budaya hingga olahraga dibatalkan. Tidak hanya itu, virus corona juga memiliki potensi untuk menggulingkan pemerintah dan membentuk kembali hubungan diplomatik.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar pihak-pihak yang berkonflik melakukan genjatan senjata, menyusul pandemi virus corona (Covid-19). Pada Jumat (3/4) lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengingatkan bahwa dampak terburuk dari virus corona di negara-negara yang tengah berkonflik, di mana sistem kesehatannya hancur, belum lah datang.

Lantas, apa dampak virus corona terhadap konflik yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah? 

Suriah
Wabah virus corona berubah menjadi pandemi ketika dua kekuatan asing dalam Perang Suriah, Rusia dan Turki, memberlakukan gencatan senjata. Dilaporkan, sedikitnya ada tiga juta orang yang tinggal di zona gencatan senjata di Kota Idlib, Suriah barat laut. Mereka memiliki sedikit harapan dengan diberlakukannya gencatan senjata tersebut.

Merujuk data Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, seperti diberitakan AFP, Ahad (5/4), korban sipil pada bulan Maret ‘hanya’ 103 kematian. Ini merupakan yang terendah sejak konflik dimulai pada 2011 lalu. 

Seorang analis Fabrice Balanche menyebut, virus corona adalah cara bagi pemerintah Suriah untuk menunjukkan bahwa negara Suriah efisien dan semua wilayah—yang dikuasai kelompok Kurdi dan jihadis- harus dikembalikan di bawah pemerintahannya.

Pandemi virus corona juga bisa mempercepat kepergian pasukan pimpinan Amerika Serikat (AS) dari Suriah dan Irak. Jika itu terjadi maka akan ada kekosongan di sana. Hal itu bisa dimanfaatkan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) untuk bangkit kembali. 

Irak
Irak sebetulnya tidak lagi berada dalam situasi konflik penuh. Namun demikian, kebangkitan ISIS di beberapa wilayah Irak sangat rentan terjadi.  Selama ini AS dan Iran saling berlomba melebarkan pengaruhnya di wilayah Irak. Sebagaimana diketahui, AS dan Iran adalah salah dua di antara negara yang paling terpengaruh oleh virus corona. Namun demikian, tidak ada tanda-tanda keduanya akan berhenti dalam pertempuran untuk mendapatkan pengaruh di tanah Irak.

Saat ini, sebagian besar pasukan non-AS dalam koalisi pergi. Sejumlah pangkalan dievakuasi. Sementara personel AS dikelompokkan kembali di beberapa lokasi di Irak. Tidak hanya itu, Washington juga telah mengerahkan rudal pertahanan udara Patriot. Hal itu dikhawatirkan akan memicu ketegangan baru dengan Teheran.

Yaman
Semula pemerintah Yaman dan kelompok Houthi menanggapi postif seruan PBB untuk melakukan gencatan senjata. Hal yang sama juga dilakukan Arab Saudi, selaku pimpinan koalisi militer yang mendukung pemerintah Yaman. 

Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena karena pekan lalu pertahanan udara Saudi mencegah rudal balistik, yang ditembakkan kelompok Houthi, ke Riyadh dan sebuah kota perbatasan. Pada Senin lalu, Saudi koalisi pimpinan Saudi membalas serangan itu dengan menyerang kelompok Houthi di ibu kota Sanaa.
 
Utusan PBB Martin Griffiths mengadakan konsultasi harian untuk mencapai gencatan senjata di antara dua kubu yang tengah berkonflik. Namun, pembicaraan mereka akan hal itu berulang kali goyah. 

Peningkatan gejolak bisa memperparah krisis kemanusiaan di Yaman dan mengundang wabah virus corona dengan proporsi bencana, mengingat infrastruktur di Yaman telah hancur dan air menjadi barang yang langka. Penduduk khawatir akan binasa jika tidak mereka tidak mendapatkan bantuan yang memadai. 

Libya
Sama seperti Yaman, pihak-pihak yang berkonflik di Libya pada awalnya menyambut baik gencatan senjata yang digaungkan PBB. Namun tidak lama setelah itu mereka kembali bertikai. 

Dalam beberapa hari terakhir telah terjadi pertempuran sengit yang mengguncang selatan ibu kota Tripoli. Hal ini menunjukkan bahwa risiko pandemi virus corona tidak cukup untuk membuat mereka yang berperang berhenti.

Sebagaimana diketahui, negara-negara Barat sangat terpukul oleh pandemi virus corona. Hal itu dapat mendorong mereka untuk mengalihkan sumber daya militer dan kapasitas perantara perdamaian dari konflik luar negeri.

Laporan International Crisis Group menyebut, para pejabat Eropa melaporkan bahwa usaha untuk mengamankan gencatan senjata di Libya tidak lagi menjadi perhatian tingkat tinggi karena pandemi Covid-19.

 
Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan