Internasional

Eropa Dilanda Teror, PCINU Belanda Tawarkan Konsep Islam Nusantara

Sen, 8 Agustus 2016 | 18:00 WIB

Belanda, Nu Online
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda bekerjasama dengan Persatuan Pemuda Muslim Eropa (PPME) Nederland mengadakan workshop Islam Nusantara di Masjid Al-Hikmah, Den Haag, Belanda, Ahad (7/8) waktu setempat. Workshop ini dimaksudkan untuk mengenalkan gagasan Islam Nusantara kepada masyarakat Muslim Indonesia yang tinggal di Eropa. Tak kurang 100 peserta dari beberapa kota di Belanda hadir dalam acara ini.

Rais Syuriah PCINU Belanda, KH Nur Hasyim menekankan pentingnya promosi Islam Nusantara di Eropa, di tengah makin menguatnya pandangan miring terhadap Islam sebagai agama yang seolah-olah membolehkan cara-cara kekerasan dan anti perdamaian. “PCINU Belanda sangat concern terhadap isu ini. Saya bahagia workshop ini dihadiri banyak warga Indonesia dari berbagai kota di Belanda. Semoga dapat menginspirasi dan bermanfaat bagi umat di sini”, ungkap KH Nur Hasyim.

Muhammad Latif Fauzi, kandidat doktor Universitas Leiden, Belanda yang juga pengurus PCINU Belanda ini menekankan bahwa serangkaian tragedi kemanusiaan dan aksi teror yang terjadi di Perancis, Belgia, dan Jerman belakangan ini menjadi tantangan dan cambuk bagi warga Muslim Indonesia di Belanda. “Kita harus dapat menunjukkan kepada dunia bahwa model Islam Nusantara, yang mengedepankan toleransi, kasih sayang dan nilai kemanusiaan inilah yang harus dikembangkan di Eropa,” lanjutnya.

Workshop ini menghadirkan tiga narasumber yakni KH Zulfa Mustafa, Wakil Katib Amm PBNU, Ahmad Sudrajat, dan Dr. Mulawarman Hannase.

KH Zulfa Mustafa mengakui memang ada polemik di balik penggunaan istilah Islam Nusantara. Baik di kalangan NU sendiri, apalagi di luar NU. Menurutnya, perbedaan wacana ini hanya disebabkan komunikasi dan kurangnya silaturahim. Karena, jika dilihat dari konsep dan makna yang ditawarkan, ada harapan besar terhadap Islam yang berkarakter ke-Indonesiaan ini.  
Ia mengingatkan, Islam Nusantara ini bukanlah Islam baru, tidak dibuat-buat. Ini adalah Islam sebagaimana yang telah diajarkan dan dipraktikkan oleh para ulama terdahulu. Menurutnya, jika direnungkan secara mendalam, kita mendapatkan titik temu dan banyak persamaan dari Islam yang telah diamalkan Nabi dengan praktik Islam Nusantara. Sangat disayangkan justru sekarang kita agak sulit bisa menemukan Islam ala Nabi itu di Timur Tengah, apalagi di tengah badai konflik etnis yang tak kunjung usai.

Kiai Zulfa menambahkan bahwa konsep Islam Nusantara lahir dari kenyataan bahwa kita adalah orang Islam yang tinggal di Indonesia, bukan orang Indonesia yang beragama Islam. Konsekuensinya, harus mampu memahami substansi dan tujuan syariat Islam yang sesungguhnya, untuk diterapkan dan disesuaikan dengan budaya Nusantara yang sangat kaya. Bukan menerapkan sesuatu yang ditampilkan identik dengan budaya Arab. Artinya, tradisi atau adat yang berkembang di Nusantara selama tidak bertentangan dengan dalil syar’i tetap boleh dilaksanakan. 

Ia kemudian mencontohkan sholawat dan berjabat tangan setelah salam adalah tradisi yang baik, mengajarkan akhlak mulia dan persaudaraan. Ia juga mengingatkan bahwa sekarang banyak orang dengan mudahnya menyalahkan, bahkan mengharamkan tradisi-tradisi yang sejak dulu telah berjalan. Dicap bid’ah atau syirik. Padahal, jika seseorang itu menguasai khazanah klasik (turats), ia dapat menemukan dalil atau pendapat ulama yang membolehkannya. Lemahnya kemampuan bahasa Arab dan penguasaan atas turats inilah yang mengakibatkan pemahaman dangkal dan sempit. Walhasil, tidak heran beberapa kelompok Islam yang tidak mengenal turats ini senang menyalahkan orang lain.

Kiai Zulfa menegaskan bahwa Islam Nusantara ini memiliki konsep fikroh, amaliah, dan harokah yang jelas. Berbasis pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Secara fikroh Islam Nusantara berdiri pada prinsip tasamuh dan tawassuth. Secara amaliah, mengamalkan fiqh madzhab Syafi’i tanpa menutup kemungkinkan menerima madzhab fikih yang lain. Sedangkan secara harokah, menekankan pendekatan persuasif, sebagaimana pendekatan tadrij (bertahap) dalam tasyri’ (pemberlakuan syariah).

Ahmad Sudrajat mewakili PBNU, menekankan pentingnya mengembangkan dakwah yang berkarakter Islam Nusantara. Ia justru menyayangkan beberapa kejadian akhir-akhir ini sering membuat masyarakat resah, bahkan mengakibatkan konflik internal keluarga. Misalnya kasus seorang anak yang dengan sangat arogan membuang makanan untuk tahlilan. Ia melalukan itu hanya karena baru mendengar pemahaman agama yang kemudian dianggap paling benar. Padahal dia tidak pernah mengerti sumber teks yang menjadi dasar pemahaman tersebut. Tradisi tahlilan atau haul yang sudah berjalan sekian lama ini tiba-tiba disalahkan dan dianggap di luar Islam. Menurutnya, Islam di Indonesia sekarang dilanda krisis pengetahuan terhadap sumber-sumber Islam, serta penghargaan terhadap jasa para ulama yang telah menyebarkan dakwah.

Sementara itu Dr. Mulawarman Hannase menekankan identitas Islam Nusantara yang sangat distingtif jika dibandingkan Islam di Timur Tengah, Arab Saudi misalnya. Ia menceritakan kisah seorang polisi syariah di Arab Saudi yang dihukum gara-gara mempertanyakan doktrin Islam ala Saudi yang tidak membolehkan perempuan berada dalam satu majlis (ikhtilath) dengan laki-laki atau menyetir mobil. Doktrin ini dianggapnya tidak mencerminkan esensi ajaran Islam.

KH Hambali, sesepuh PPME Nederland dan imam Masjid Al-Hikmah mengharapkan kegiatan workshop untuk bertukar ilmu, informasi dan pengalaman  seperti ini bukan yang terakhir. Sehingga akan ada seri workshop lanjutan. PCINU Belanda diharapkan oleh masyarakat Islam di Belanda untuk dapat berkiprah menjadi garda untuk mempromosikan Islam yang ramah, menghargai keragaman, dan berorientasi perdamaian. (Red-Zunus)