Internasional

Gandeng Ormas se-Asia Tenggara, SOMTC Susun Draf Kerja Tangkal Radikalisme

Ahad, 7 Juli 2019 | 04:00 WIB

Gandeng Ormas se-Asia Tenggara, SOMTC Susun Draf Kerja Tangkal Radikalisme

Pertemuan CSO se-Asia Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (3/7)..

Jakarta, NU Online
Terorisme, radikalisme, dan kekerasan ekstrem sudah berulang kali merusak iklim keamanan dan kenyamanan tinggal di Bumi Pertiwi. Hal serupa juga merenggut nyawa banyak orang. Tak hanya di Indonesia, beberapa negara lain juga merasakan hal yang sama. Aksi terorisme dilakukan hanya oleh sekelompok kecil, namun kelompok yang sangat kecil ini tidak bisa dianggap biasa.

Tak ayal, negara-negara Asia Tenggara melakukan pertemuan guna melawan dan mencegah terulangnya aksi terorisme di wilayahnya. Sebab, konflik global ini tidak selesai diatasi oleh seorang diri, satu organisasi, atau sebuah negara saja. Kerja bersama seluruh elemen tentu memiliki dampak yang lebih positif agar kenyamanan dan keamanan masyarakat tetap terjaga.

Karenanya, Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) mempertemukan badan-badan ASEAN guna membuat rencana kerja dalam jangka waktu hingga 2025 mendatang pada April 2019 lalu di Bali.

Draf tersebut dibahas ulang untuk dikoreksi dan diperbaiki dengan berbagai saran dari organisasi masyarakat sipil (CSO) yang ada di seluruh Asia Tenggara dalam sebuah acara Consultation with CSOs on the Draft Work Plan on Preventing and Countering the Rise of Radicalisation and Violent Extremism (PCRVE) 2018-2025. Sebab, merekalah yang mengetahui kondisi yang sebenarnya di wilayah yang paling kecil.

Hal itulah yang tengah diupayakan oleh ASEAN dalam rangka membendung arus radikalisme, terorisme, dan kekerasan ekstrem global. Pihaknya melibatkan CSO dalam proses pengambilan keputusan meskipun tidak secara langsung.

Andhika Chrisnayudhanto, Ketua SOMTC Working Group on Counter Terrorism, mengungkapkan bahwa CSO memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan kerja-kerja pencegahan dan perlawanan wacana radikalisme, terorisme, dan ekstremisme berbasis kekerasan. Pemerintah, menurutnya, lebih berperan sebagai pembuat regulasinya.

"Peran sebetulnya dilakukan oleh masayarakat sipil. Jadi, bagaimanapun juga kalau kita membuat suatu rencana kerja dan aksi hasilnya kita hanya membuat mimpi saja. Apa yang kita lakukan sebagai kebijakan strategis itu sudah dilakukan oleh pelaku lapangan (dalam hal ini CSO)," katanya kepada NU Online usai pertemuan CSO se-Asia Tenggara di Hotel Pullman, Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (3/7).

Andhika mencontohkan Indonesia yang saat ini telah melakukan rancangan aksi nasional terhadap ekstremisme berbasis kekerasan. Rencana tersebut pada dasarnya sudah dilakukan oleh CSO dengan berbagai programnya. "Kita perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang memang mendorong proses itu di mana ada keterlibatan pemerintah dengan masyarakat sipil," ujarnya.

Pelibatan CSO dalam melakukan perlawanan dan pencegahan aksi radikal yang terjadi terus-menerus ini, menurutnya, sangat penting mengingat pemerintah sangat terbatas. Melimpahnya sumber daya masyarakat sipil tentu perlu dilibatkan. “Sumber daya dari masyarakat sipil sudah ada di tengah masyarakat. Kenapa kita susah turun ke tengah masyarakat. Kita siapkan adanya kebijakan. Pelaksananya CSO,” ungkapnya.

Deputi Kerjasama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) itu menjelaskan bahwa rencana aksi nasional merupakan semacam daftar menu yang akan disesuaikan dengan bidang-bidang CSO. Hal tersebut mengingat banyak faktor terjadinya radikalisme, terorisme, dan kekerasan ekstrem, seperti pendidikan, media sosial, dan sebagainya.

Sebagaimana diketahui, radikalisme muncul berulang kali dalam soal siswa dan buku ajarnya. Tak sedikit pula orang yang terekrut menjadi radikalis melalui media sosial. Bahkan anak juga jadi korbannya melakui doktrinasi orang tuanya.

Acara tersebut, kata Andhika, sebetulnya merupakan serangkaian kegiatan pertemuan yang masih akan terus berlanjut. Hal tersebut bermula dari inisiasi Indonesia untuk melaksanakan aksi bersama secara kawasan regional Asia Tenggara.

"Awalnya Indonesia menginisiasi aksi kawasan untuk menangkal radikalisasi dan ekstremisme berbasis gerakan. Indonesia juga punya rencana aksi nasional," katanya. (Syakir NF/Kendi Setiawan)