Internasional

Jejak Islam di Kamboja (7): Para Guru Berpuasa Senin-Kamis demi Madrasah

Kam, 21 Desember 2017 | 12:01 WIB

Phnom Penh, NU Online
Perjuangan mengenyam pendidikan berkualitas oleh Muslim di Kamboja tidaklah mudah. Di tengah penduduk yang mayoritasnya beragama Buddha, Muslim di negara yang bersistem kerajaan itu kekurangan akses, terutama keilmuan yang berbasis syariat and akidah Islam.

Situasi tersebut yang menggerakkan Ustad Musa Ahmad, salah satu perintis Al-Ihsan Association Islamic Education and Development, sebuah Yayasan Islam di Chrang Chomres, kawasan pinggiran ibu kota Phnom Penh yang didirikan pada 2002. Berselang lima tahun, pada 2007 Yayasan ini mendirikan madrasah yang dibuka dari jenjang dasar.

Sebenarnya saya tidak sengaja mengunjungi madrasah yang muridnya rata-rata keturunan Cham-Melayu itu, yakni Muslim Champa yang dahulu berhijrah dari Vietnam ke wilayah Kamboja akibat genosida. 

Saat itu, pada awal Desember, setiba di terminal KM. 9, tempat pemberhentian bus kota, saya mampir di warung makan yang ternyata orang muslim. Tidak berlangsung lama berbincang mengenai apa saya cari, pemilik warung tersebut mengantar saya ke madrasah tadi yang jaraknya sekitar 75 meter. Baru menginjakkan kaki di depan pintu madrasah, tiba-tiba disambut langsung oleh Ustad Musa.

Ustad berusia 30 tahun yang ayahnya keturunan Champa itu lahir di Mesir, dibesarkan di Pakistan. Keluarganya berpindah-pindah sebab pada tahun 1975-an mereka mengungsi untuk menghindari kekejaman rezim Pol Pot yang berkuasa selama 4 tahun. Ketika dewasa, selama beberapa tahun ia menimba di Malaysia. Pantas saja bila ia lumayan lancar berbicara menggunakan bahasa Melayu.

Dengan dialek bahasa Melayu yang khas, ia menceritakan bahwa yayasan ini mempunyai prinsip tidak akan meminta bantuan pihak-pihak di luar mereka dan tidak punya prinsip menunggu bantuan baru mau bergerak. Justru yayasan ini bergerak dahulu menggunakan modal seadanya.

"Islam tak mengajarkan meminta sebab Rasulullah mengajarkan kita untuk memberi, yadul 'ulya khairun min yadus sufla. Allah dalam Al-Qur’an juga berkata, quli'malu fasayarallahu 'amalakum wa rasuluhu wal mukmimun, Allah suruh kita buat kerja, Allah tidak suruh kita minta, Rasul dan orang mukmin akan melihat serta menilai kerja kita,” tutur Ustad Musa yang saat itu mengenakan seragam guru dengan kopiah bulat berwarna putih.

Mengelola Dana dari Puasa Sunnah
Pihak yayasan membuat kebijakan berupa menghidupkan sunnah Puasa Senin dan Kamis yang ditujukan kepada seluruh staf dan dewan guru yang mengajar di madrasah itu. Puasa sunnah ini tidak dipaksakan, tapi yayasan hanya menggalakkan atau mengajak.

“Dengan menghidupkan sunnah puasa itu, kami bisa sedikit mengatasi masalah keuangan, sebab ketika berpuasa mereka tidak makan siang, sehingga setiap staf dan guru diambil 1000 Riel (0,25 USD) yang dimasukkan pada tabung yang bertulisan Arab: takhfiful alamil yutmi wal faqri, yang bermakna mengurangkan beban anak yatim dan anak miskin,” jelasnya.

Apabila ada orang tua siswa tak mampu membayar biaya sekolah, pihak yayasan akan mengambil dana yang dikumpulkan dari tabung tadi, lalu diberikan kepada orang tua untuk membayarkan uang tersebut kepada pihak sekolah. Sehingga orang tua siswa tetap mendapatkan kuitansi pembayaran seperti siswa lain. Jadi siswa pun merasa bahwa orang tuanya mampu menyekolahkan dirinya. Adapun biaya bulanan tiap siswa yang diberlakukan pihak madrasah sekitar 11-13 USD, tergantung tingkatan kelasnya.

“Jadi dirasa dirinya kaya mampu membayar sekolah, padahal itu duit sekolah juga yang diambil dari duit puasa guru-guru. Dari 1000 Riel setiap berpuasa pada Senin dan Kamis, tiap guru bisa terkumpul 2 USD, lalu dikalikan jumlah guru yang mencapai 40 orang. Totalnya setiap bulan bisa terkumpul 80 USD,” ulasnya sambil saya mencerna bahasa Melayu karena ada beberapa kata yang saya tidak mengerti.

Selain dana yang terkumpul dari puasa sunnah, satu perlima dari gaji setiap guru dan staf juga disumbangkan ke pihak yayasan madrasah. Ustad Musa menyebut kebijakan tersebut sebagai akad rikaz. Dana itu digunakan untuk biaya-biaya operasional madrasah, seperti alat tulis, kebersihan, dan alat-alat yang menunjang pembelajaran siswa-siswa. (M. Zidni Nafi’, santri asal Kudus, Peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri (PPMLN) 2017 Kemenpora RI)