Urumqi, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, maksud dan tujuan dari berangkatnya delegasi PBNU ke Provinsi Xinjiang China adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang keadaan Muslim Uighur, yang dalam pemberitaan media internasional mengalami represi.
“Intinya, tanpa bermaksud mencampuri urusan dalam negeri RRT (Republik Rakyat Tiongkok) kami ingin mendapatkan informasi akurat bagaimana keadaan umat Islam di Tiongkok, khususnya Muslim Uighur,” kata Robikin yang ikut dalam rombongan ke Xinjiang melalui pesan singkat kepada NU Online, Kamis (21/2).
“Termasuk apakah mereka memiliki kebebasan menjalankan peribadatan sebagaimana dijamin konstitusi Tiongkok,” lanjutnya.
Delegasi NU, MUI, dan Muhammadiyah bertemu dengan Deputy Chairman China Islamic Association dan Presiden Xianjing Islamic Institute Abdurakib bin Tumurniyaz.
Robikin menceritakan, pada Rabu (20/2), rombongan bertemu dengan Deputy Chairman China Islamic Association dan Presiden Xianjing Islamic Institute Abdurakib bin Tumurniyaz. Menurut Robikin, dalam kesempatan tersebut Abdurakib menegaskan bahwa konstitusi Tiongkok menjamin kebebasan warga negara dalam beragama. Apakah mereka memeluk suatu agama ataupun tidak.
“Mereka hidup berdampingan secara damai dan umat Islam bebas menjalankan agamanya,” kata Abdurakib.
Di China sendiri, ada lima agama yang dipeluk oleh penduduknya, termasuk Islam. Abdulrakib menyebutkan kalau total pemeluk Islam di China mencapai 23 juta orang yang terdiri dari 10 etnis. 11 juta diantaranya adalah Suku Uighur.
Delegasi berkunjung ke Exhibition on Major Violence Terorist Attack Cases in Xianjing.
Rombongan yang bertolak ke Xinjiang berjumlah 15 orang yang terdiri dari delegasi NU, MUI, dan Muhammadiyah. Masing-masing organisasi terdiri dari lima orang. Sementara pimpinan delegasi masing-masing adalah Robikin Emhas (NU), Muhyiddin (MUI), dan Syafiq Mughni (Muhammadiyah).
Selama di Xinjiang mereka akan menjalani berbagai rangkaian kegiatan. Pada hari ini, Kamis (21/2), rombongan bertemu dan dialog dengan otoritas Xianjing Islamic Institute. Selain itu, rombongan juga berkunjung ke tempat dimana dokumentasi serangan terorisme dan kekerasan Xianjing dipamerkan.
Delegasi berkunjung ke Exhibition on Major Violence Terorist Attack Cases in Xianjing.
Sementara besok harinya, Jum'at (22/2), rombongan akan berkunjung ke Lembaga Pelatihan dan Pendidikan Vokasi Kapubaten Karakax dan Kashgar. Dua tempat yang selama ini diberitakan oleh sementara kalangan sebagai kamp penyiksaan Muslim Uighur.
Sebelumnya, satu anggota Komite Penghapusan Diskriminasi Rasional PBB, Gary McDougall mengungkapkan, sekitar dua juta warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya diwajibkan menjalani indoktrinasi di sebuah kamp politik di Xinjiang.
“(China) telah mengubah wilayah otonomi Uighur menjadi sebuah penampungan raksasa rahasia, semacam sebuah zona tanpa hak asasi,” kata McDougall, dikutip dari lama Reuters, Sabtu (11/8/2018).
Delegasi mengunjungi Xinjiang Islamic Institute.
Sementara lembaga hak asasi manusia yang bermarkas di New York, Human Right Watch, mengeluarkan sebuah laporan yang menguatkan tuduhan PBB tersebut di atas. Sebagaimana dikutip Reuters, Senin (10/9/2018), Human Right Watch melaporkan, sebagian besar minoritas Muslim Uighur di Xinjiang China mengalami penahanan sewenang-wenang. Mereka juga menghadapi pembatasan harian terhadap praktik keagamaan dan ‘indoktrinasi politik paksa.’
Menurut Human Right Watch, di ‘kamp-kamp tahanan itu,’ Muslim Uighur dan lainnya dilarang mengucapkan salam. Mereka harus mempelajari bahasa Mandarin dan menyanyikan lagu-lagu propaganda. Jika menolak instruksi yang ditetapkan pihak berwenang, mereka akan dihukum seperti tidak mendapatkan makanan atau berdiri selama 24 jam, atau ditempatkan di ruang isolasi.
Tidak hanya sampai di situ, diberitakan Muslim Uighur juga dilarang mengenakan jilbab, memelihara jenggot, dan melakukan ritual-ritual keagamaan di depan umum. Bahkan, rumah-rumah mereka di wilayah Xinjiang dipasangi kode QR sebagai upaya untuk mengontrol populasi dan aktivitas Muslim Uighur.
China semula membantah adanya kamp itu. Namun kemudian, China mengakui adanya kamp itu. Akan tetapi kamp itu dimaksudkan untuk pendidikan ulang warga Xinjiang, bukan sebagai kamp tahanan sebagaimana yang dituduhkan.
Pada akhir tahun lalu, Senin (24/12/2018), Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia Xiao Qian mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Qian menegaskan kalau semua masyarakat China dari berbagai suku –termasuk Uighur- memiliki kebebasan dalam beragama.
Menurutnya, persoalan di Xinjiang adalah persoalan separatisme. Ada sekelompok orang yang memiliki rencana untuk membuat Xinjiang berpisah dengan China. “Tapi demikian masih ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme,” kata Dubes Qian melalui penerjemahnya.
Terkait dengan kelompok-kelompok separatis seperti itu, kata Dubes Qian, China mengambil beberapa langkah kebijakan. Diantaranya mengadakan program pendidikan dan vokasi sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mendapatkan kerja.
“Dan mendapatkan pendapatan yang stabil,” lanjutnya. (Red: Muchlishon)