Internasional

Kehangatan umat Islam di Wuhan

Sab, 26 Mei 2012 | 05:28 WIB

Wuhan, NU Online
Jumat siang cuaca mendung menyelimuti Wuhan, ibukota Provinsi Hubei, China. Dalam beberapa hari terakhir kota berpenduduk sekitar sembilan juta itu selalu diguyur hujan.<>

Tidak gampang mencari masjid saat rombongan warga Indonesia berniat melaksanakan shalat Jumat karena hanya ada lima rumah ibadah nagi umat Islam di kota yang dibagi dalam tiga distrik itu, yaitu Hanyang, Hankou dan Wuchang.

Meski telah dipandu oleh seorang pemuda lokal pemilik rumah makan, yang juga beragama Islam, tetap saja harus bertanya berkali-kali sebelum sampai di tempat yang dituju, yaitu Masjid Hanyang.

Setelah berputar-putar sekitar 20 menit mengelilingi perkampungan di wilayah Hanyang, tanda-tanda bahwa bahwa di sekitar daerah itu ada masjid pun mulai tampak setelah melihat beberapa pria menggunakan topi warna putih, serta serombongan wanita berkerudung.

Awalnya belum terlihat tanda-tanda adanya masjid karena yang tampak hanyalah sebuah bangunan biasa, seperti ruangan sekolah tanpa kubah.

Saat memasuki komplek masjid, terdapat sekitar 30 orang pria dan 15 wanita yang rata-rata sudah berusia 50 tahun ke atas. Mereka tampak terkejut bercampur gembira melihat kedatangan rombongan tamu asing dari jauh.

Untuk beberapa saat suasana terasa seperti berada di sebuah perkampungan padat ibukota negara Indonesia, Jakarta, ketika ibu-ibu berkerudung terlihat sedang memasak di dapur terbuka. Sementara itu, pria-pria bersorban duduk sambil mengobrol.

"Wassalamualaikum," jawab mereka nyaris serentak untuk membalas salam rombongan dari indonesia.

Hal yang kemudian menyadarkan bahwa rombongan dari Indonesia tersebut berada di China adalah ketika mulai terjadi percakapan, karena tidak ada yang saling mengerti akibat kendala bahasa.

Kendala bahasa akhirnya sedikit terpecahkan ketika datang Wei Shang Ju, imam masjid yang bisa berbahasa Inggris meski tidak lancar.

Pria berusia 46 tahun itu mempunyai nama Islam, Muhammad Ishaq. Ia mengaku pernah belajar fiqih Islam di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, selama empat tahun, sehingga lebih lancar berbahasa Arab dibanding Inggris.

Wei Shang Ju, yang memelihara jenggot cukup panjang, mengatakan bahwa Masjid Hanyang tersebut baru didirikan sejak sebulan lalu, tapi tergusur karena pemerintah akan membangun pusat perbelanjaan.

"Kami tidak tahu harus pindah ke mana jika masjid ini digusur, padahal masjid ini baru sebulan dibangun. Sekarang kami sedang membuat kubahnya," katanya dalam bahasa Inggris terbata-bata.

Ia menimpali, "Kuburan-kuburan ini juga akan digusur." Ia pun menunjuk sebidang lahan di depan masjid yang dijadikan kuburan para pendahulu mereka sebagai pemeluk Islam.

Setelah berbicara sekitar setengah jam sebelum memasuki waktu shalat Jumat, Shang Ju  menyilakan para tamu dari Indonesia menuju ruang terbuka yang dijadikan sebagai ruang makan.

Di meja terhidang sop kaki kambing dan bakpao, lengkap dengan teh hijau.

"No money, no money," kata Jang Shu, untuk menegaskan bahwa mereka tidak memungut bayaran atas makanan tersebut.

Suhu udara yang agak dingin akibat hujan gerimis terasa lebih hangat ketika satu per satu hidangan disantap secara lahap tanpa ada lagi kekhawatiran bercampur makanan tidak halal.

Prihatin

Dari sekira 50 orang yang berada di komplek Masjid Hanyang hanya ada dua orang pemuda yang ikut berkumpul untuk menjalankan shalat Jumat, selebihnya adalah orang tua yang rata-rata berusia 50 tahun sampai 60 tahun.

"Saya prihatin dengan anak-anak muda kami sekarang karena mereka lebih tertarik dengan komputer dan Internet dibanding ke masjid," kata An Qing Guan, wanita berumur 60 tahun yang lebih lancar berbahasa Inggris.

Sebagai minoritas, karena umat Islam di China hanya sekitar dua persen dari total 1,2 miliar penduduk, Qing Guan mengemukakan bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menjaga kei-Islaman anak-anak dan remaja mereka.

Apalagi, ia menilai, tidak ada pelajaran agama di sekolah karena di China menganut sistem pendidikan dipisahkan dari ajaran agama.

Selain itu, menurut dia, pendidikan keluarga sering tidak dipelihara, sehingga anak-anak secara bertahap kehilangan hubungan dengan agama mereka, dan akhirnya banyak yang tidak puasa dan melakukan shalat.

Meski demikian, Qing Guan, yang sehari-hari mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak, mengatakan bahwa dirinya tetap berusaha mendidik anak-anaknya secara Islam dalam kehidupan sehari-hari.

"Saya selalu memasak sendiri dan hampir tidak pernah makan di luar karena sangat sulit untuk menemukan makanan halal," kata perempuan yang tahun ini menjalankan ibadah haji bersama suaminya itu.

Untuk menjalankan ibadah haji, Qing Guan mengaku bahwa harus mengeluarkan biaya senilai 40.000 yuan atau setara Rp56 juta, yang terhitung sangat mahal buat kebanyakan warga Muslim China.

Tapi, Qing Guan tidak harus lama-lama menunggu naik haji karena bisa berangkat tahun ini juga. Ia tampak kaget karena orang Indonesia harus menunggu sampai lima tahun lantaran ada kebijakan kuota ujumlah jamaah haji.

Menurut wanita berkacamata itu, dari Kota Wuhan terdapat sekira 30-an orang yang akan naik haji dari sekitar 2.000-an umat Islam di wilayah Hanyang.

Di Wuhan terdapat sekira 30.000 umat Islam yang sebagian besar berasal dari etnis Han.

"Ya, itu mungkin karena Indonesia negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Saya baca di majalah kalau Islam di Indonesia sangat kuat. Apakah mahal biaya ke sana? Saya juga ingin merasakan suasana masyarakat Islam di Indonesia," katanya.

Selama masa bergolak di China, ia mengemukakan, sangat sedikit jamaah haji yang diizinkan untuk melakukan perjalanan ke tanah suci. Tapi, pemerintah China mulai memperlonggar kebijakan terhadap umat Islam sejak 1978.

Pada 2007 jumlah umat Islam yang menuaikan ibadah haji di China  melebihi angka 10.000 orang untuk pertama kalinya, dan mencapai 12.700 orang pada musim haji 2011.

"Ya, sekarang kehidupan orang Islam di China jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami juga dengan leluasa sudah boleh memakai jilbab atau menggunakan huruf Arab di restoran," katanya menambahkan.



Redaktur: Mukafi Niam
Sumber   : Antara