Internasional HAJI 2023

Ketika 'Jokowi' Jadi Mata Uang di Tanah Suci

Rab, 21 Juni 2023 | 13:30 WIB

Ketika 'Jokowi' Jadi Mata Uang di Tanah Suci

Suasana "pasar tumpah" di terminal Syib Amir, dekat Masjidil Haram, Makkah, pada pagi hari. (Foto: NU Online/Mahbib)

Makkah, NU Online

Tidak sulit mendengar nama Jokowi di Tanah Suci. Anda cukup datang ke terminal Syib Amir dekat Masjidil Haram atau pelataran hotel di Makkah dan di sana nama itu hadir dalam teriakan para pedagang di sudut-sudut keramaian jamaah haji Indonesia.


"Yo ayo... Ayo... Abaya murah, 100 ribu Jokowi. Murah-murah..." teriak seorang penjual, Ihsan, di halaman hotel nomor 304, tempat menginap jamaah haji asal Embarkasi Makassar (UPG), di kawasan Syisah, Makkah, Rabu (21/6/2023) pagi waktu Arab Saudi.


Ihsan adalah penjual busana muslimah. Bersama belasan pedagang lainnya, ia menggelar lapaknya sejak bakda Subuh. Mayoritas dari mereka berasal dari etnis Rohingya, Myanmar. Di lapak-lapak depan pemondokan itu terbentang aneka dagangan, mulai dari gamis, peci, sajadah, kemeja, hingga nasi kuning, bakso dan gorengan.


Ihsan mengaku tak pandai berbahasa Indonesia. Kosa katanya terbatas. Ia hanya mengerti sejumlah istilah Indonesia sejauh untuk memudahkan transaksi dengan pembeli asal Indonesia. 


Saat ditanya tentang "Jokowi" yang ia teriakkan berulang-ulang, ia membalas dengan nada yang juga bertanya, "Ism fulus (nama uang)?"


Ihsan rupanya tidak mengenal Jokowi kecuali sebagai mata uang. Ia bahkan baru tahu bahwa Jokowi adalah nama presiden Indonesia sekarang.


Entah dari mana semua bermula, kata "Jokowi" hampir selalu menggantikan kata "rupiah" dalam tiap transaksi. Hal ini bukan semata karena sang pedagang memakai istilah tersebut. Sebab pembeli dari Indonesia sendiri pun menggunakannya, baik ketika bertanya harga maupun saat tawar-menawar.


Proses jual beli biasanya berlangsung fleksibel. Bisa menggunakan mata uang riyal, bisa pula mata uang rupiah. Umumnya penjual dan pembeli menggunakan patokan kasar 1:4.000 untuk perbandingan kurs riyal dan rupiah.

 

Barang-barang yang seharga 25 riyal, misalnya, akan dikonversi begitu saja ke 100 ribu rupiah. Di area pelataran Masjidil Haram, fleksibilitas ini berlaku juga ketika transaksi sewa kursi roda. Ternyata fenomena ini tidak hanya berlaku di Makkah, di Madinah pun sama.


'Kucing-kucingan' dengan Polisi

Meski terkesan bebas buka lapak, hampir semua pelapak dihinggapi kekhawatiran. Mereka harus siap manakala harus pergi dari sana secara tiba-tiba karena diusir oleh otoritas keamanan Arab Saudi.


Saleh, pedagang asal etnis Rohingya, mengungkapkan hal itu. Risiko terbesarnya, jika pelapak diketahui bukan warga negara Arab Saudi maka ia akan dipulangkan (dideportasi) ke negaranya. Namun, Saleh mengaku sedikit lebih tenang dibanding pelapak lainnya karena secara resmi ia sudah terdaftar sebagai warga negara Arab Saudi.


"Polisi tidak akan membubarkan jika pihak hotel tidak telepon pihak keamanan (karena dianggap mengganggu, red)," katanya. Di kanan-kiri Saleh ada pedagang lain dari suku Bengali yang belum berkewarganegaraan Arab Saudi.


Para pedagang di Makkah umumnya menempati titik-titik strategis yang menjadi tempat lalu lalang jamaah haji, baik saat keluar dari Masjidil Haram maupun ketika turun dari bus Shalawat (kendaraan antar-jemput jamaah haji Indonesia dari Masjidil Haram ke hotel). 


Karena menempati area tidak resmi para pedagang bukan saja mesti rela sewaktu-waktu diminta pergi oleh polisi Saudi, tetapi juga harus ikhlas ditegur para petugas haji dan sopir karena dianggap mengganggu lalu lintas jamaah yang akan lewat.


Pewarta: Mahbib Khoiron

Editor: Fathoni Ahmad