Internasional

Langkah PCINU Bendung Islamofobia di Amerika dan Kanada

Sel, 17 Agustus 2021 | 10:30 WIB

Langkah PCINU Bendung Islamofobia di Amerika dan Kanada

Ilustrasi: Langkah mengenalkan Islam untuk mengatasi islamofobia perlu dilakukan melalui media massa, sebab penyebaran islamofobia juga menggunakan media massa.

Jakarta, NU Online

Islamofobia menjadi tren yang meningkat dalam dua dekade terakhir di Amerika Serikat dan Kanada. Hal demikian dipercepat dengan kasus serangan 11 September 2001 yang terjadi di New York. Dampaknya, Amerika Serikat mengubah sudut pandangnya mengenai Islam. Tak pelak, stigmatisasi muncul kepada Islam dan Muslim.

 

"Bahkan saya pernah mendengar hasil penelitian di Amerika Serikat, Islam paling distigmatisasi di Amerika Serikat," kata Muhammad Izzul Haq, Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat dan Kanada, Senin (16/8/2021).

 

Izzul menjelaskan bahwa pada dasarnya, mereka yang terkena islamofobia adalah orang yang tidak mengenal Islam, tidak memiliki teman Muslim, berkulit putih karena merasa sebagai ras terbaik, dan orang-orang yang tinggal di pelosok.

 

Oleh karena itu, mahasiswa doktor di Universitas Mc Gill, Montreal, Kanada itu berencana untuk lebih mengenalkan Islam. "Prinsip dasarnya mengenalkan Islam. Tantangannya mengenalkan Islam," katanya.

 

Hal itu dilakukan dengan beberapa cara, yakni melalui media massa dan media sosial. Sebab, media kerap menjadi pelantang islamofobia, seperti pengasosiasian teroris dengan Muslim. Pembaca akan digiring ke arah sana.

 

Selain itu, meredam islamofobia juga perlu dilakukan melalui dialog interaktif antarkeyakinan. Hal ini sudah dilakukan PCINU Amerika Serikat-Kanada melalui berbagai pertemuan dengan gereja-gereja dan akan terus ditindaklanjuti dengan komunitas lain.

 

Dengan adanya kolaborasi silaturahim dengan berbagai komunitas agama itu diharapkan ada sinergi kegiatan dengan harapan hasilnya dapat mendukung pengentasan islamofobia. "PCINU bisa menjadi partner," katanya.

 

Hal tersebut juga, menurutnya, merupakan satu langkah second track diplomacy (diplomasi jalur kedua) yang dilakukan oleh entitas masyarakat, dalam hal ini PCINU.

 

Izzul menjelaskan bahwa dialog antarkeyakinan yang banyak dilakukan di dua negara itu cukup membuahkan hasil. Hal itu terbukti dengan adanya representasi Muslim dalam Kongres Amerika Serikat, yaitu ada dua perempuan Muslimah dari Partai Demokrat, sedangkan di Kanada, terdapat tiga menteri Muslim yang merupakan imigran dari Suriah, Afghanistan, dan Somalia.

 

Lebih lanjut, akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu juga menjelaskan bahwa Pemerintah Kanada menetapkan tanggal 29 Januari sebagai Hari Antiislamofobia. Tanggal tersebut dipilih karena empat tahun silam, 2017, terjadi penembakan orang-orang di sebuah masjid di Quebec, Kanada. Penembakan itu menewaskan enam jamaah, dan delapan lainnya mengalami luka-luka. Sementara pelaku dijerat hukuman penjara seumur hidup.

 

Pada 6 Juni 2021 lalu, terjadi penabrakan satu keluarga Muslim di Ontario, Kanada, oleh seorang pria berumur 20 tahun karena dasar kebencian. Empat orang dikabarkan tewas, sedangkan anak umur 9 tahun mengalami luka berat. 

 

Pemerintah Kanada langsung menggelar pertemuan nasional untuk membahas islamofobia pada 22 Juli 2021. Melihat respons cepat demikian, Izzul mengatakan bahwa kebijakan di Kanada sudah cukup baik mengenai pengentasan islamofobia. Ia berharap ke depan bisa turut ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan serupa.

 

Islamofobia, jelas Izzul, muncul bukan saja karena asosiasi media yang mengarahkan demikian, tetapi juga karena Islam merupakan agama yang berkembang pesat kedua di Kanada.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan