Internasional

Menilik Masjid yang Dikelola Warga Indonesia di Korea Selatan

Sel, 20 November 2018 | 12:45 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menceritakan, hampir 90 persen masjid warga negara Indonesia (WNI) di Korea Selatan (Korsel) dibangun atas donasi jamaah yasinan dan shalawatan.   

“Awalnya sekedar hasrat ingin temu kangen yang kemudian merasa perlu ada pusat interaksi positif dan peribadatan,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Selasa (20/11), usai berkunjung ke Korea Selatan untuk menyampaikan ceramah di Masjid Al-Barokah di Gimhae beberapa hari lalu.

Saat ini, kata Kiai Cholil sebagaimana penuturan staf KBRI di Korsel, sudah ada 60 masjid yang diinisiasi dan dikelola oleh WNI di seluruh kota di Korea Selatan. Lima di antaranya sudah permanen dan terpisah dari bangunan lain. Sedangkan 54 masjid lainnya masih berupa flat atau aula yang disewa pada salah satu lantai di apartemen-apartemen di Korea Selatan. 

“Umumnya, masjid-masjid tersebut dikelola oleh WNI. Sedangkan umat Muslim dari negara lain umumnya hanya sekedar mengikuti kajian jamaah dan shalat,” tuturnya.

Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok ini menambahkan, masjid-masjid yang sudah permanen berwenang menunjuk imam tetap, baik dari dalam atau luar Korea. Sementara pengurusan visanya akan diterbitkan dengan sponsor dari Korea Muslim Federation (KMF). 

Menurut Kiai Cholil, masjid-masjid tersebut tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun juga menjadi pusat informasi bagi warga Korea yang ingin belajar Islam. 

“Masjid-masjid di Korea Selatan menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis buat mereka yang ingin mempelajari Islam,” lanjutnya.

Kiai Cholil menuturkan, ada sekitar 39 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Korsel. 80 persen dari jumlah tersebut adalah Muslim. Mereka umumnya bekerja di bidang manufaktur dan tinggal di mes yang disediakan pabrik. Mereka tidak menyewa rumah sendiri dan sedikit sekali yang menyewa rumah dengan cara patungan di luar mes yang telah disediakan pabrik.

“WNI di Korea Selatan umumnya tidak membawa keluarga karena mereka hanya mendapat visa tunggal bagi pekerja. Karena itu, keberadaan masjid menjadi angin surga bagi mereka karena di masjid itulah mereka bisa bertemu sesama WNI dan bisa beribadah dengan nyaman,” ungkapnya.

Kiai Cholil kemudian menceritakan kondisi Masjid Al-Barokah di Gimhae. Awalnya masjid ini berupa pertokoan. Kemudian dibeli atas urunan sesama WNI sebagai pusat kegiatan dan peribadatan. Luas masjid ini sekitar 35 M x 16 M. Terdiri dari bangunan dalam masjid untuk shalat dan emperannya untuk kegiatan dan sekedar kumpul-kumpul di akhir pekan. 

“Sesuatu yg sangat membanggakan, bahwa masjid dan kegiatannya merupakan kebutuhan personal dan sosial bagi WNI di Korea. Dengan tradisi yasinan, shalawatan dan pengajian dapat membentengi mereka dari arus kebebasan pergaulan dan mengatasi kesepian sebagai diaspora. Mereka lebih terarah dan tak melupakan tujuan awal untuk mengais rezeki di negeri Ginseng,” jelasnya. (Red: Muchlishon)