Internasional CATATAN PERJALANAN

Orang Jepang dan Nilai-nilai Ajaran Islam

Jum, 8 Maret 2019 | 00:15 WIB

Mendengar kata Jepang, yang terlintas di pikiran kita pertama kali tentu bukanlah Islam. Negara yang berpenduduk 126 juta jiwa itu memang tak banyak penganut Islamnya. Akan tetapi, mereka mempraktikkan nilai-nilai ajaran Islam. Setidaknya, dalam beberapa hal.

Pertama, saat tiba di bandara Haneda, Tokyo, pada Selasa (19/2/2019) saya dan rekan-rekan yang mengikuti program konferensi pelajar Asia Tenggara, Timor Leste, dan Jepang (Jenesys) langsung diajak oleh panitia untuk menaiki bus angkutan umum yang akan membawa kami ke hotel, tempat kami menginap nantinya. Pukul 10.14 waktu setempat, sopir mobil yang kami tumpangi menutup pintunya. Tepat pukul 10.15 sesuai jadwal keberangkatan, mobil melaju menuju tujuan kami.

Dalam setiap kegiatan, panitia selalu mengabarkan kapan kegiatan dimulai, berakhir, sampai di tempat tujuan, beranjak dari tempat pertemuan, dan sebagainya. Salah seorang panitia juga sempat menyampaikan kepada para peserta bahwa jika terlambat, harus datang ke tempat acara menggunakan taksi dengan bayar sendiri. “You will hop in the taxi by yourself if you come late,” katanya.

Ketepatan waktu menjadi harga mati masyarakat Jepang. Untuk itu, saya melihat semua langkah kaki mereka cepat-cepat. Tidak ada yang lambat. Bahkan, saat berada di sana, saya sempat membaca berita yang muncul di lini masa media sosial, bahwa Menteri Jepang untuk urusan olimpiade dan paralimpik, Yoshitaka Sakurada, didesak mengundurkan diri karena terlambat tiga menit saat menghadiri rapat kerja dengan parlemen.

Ketepatan waktu bagi Muslim tentu saja menjadi santapan sehari-hari mestinya. Shalat lima waktu menuntut kita untuk tepat waktu. Subuh, misalnya, yang harus dilaksanakan pada waktu antara terbit fajar hingga terbit matahari. Seyogyanya, ketepatan waktu juga berlaku dalam hal lainnya, tidak hanya pada urusan shalat.

Ini yang kerap kali luput dari kita. Bahkan, tak sedikit masyarakat kita yang meremehkan perihal waktu ini. Hal ini bisa jadi karena terpengaruh dengan berbagai ungkapan yang mengarah pada kelambatan kita dalam bertindak, seperti alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat, dan sebagainya.

Kedua, menjaga kebersihan juga menjadi salah satu nilai keislaman lain yang orang Jepang praktikkan. Jalanan, gedung, hingga toilet terjaga semua kebersihannya. Mereka juga membedakan sampah ke tiga jenis, setidaknya, yakni dapat dibakar, tidak dapat dibakar, dan botol dan kaleng. Untuk jenis terakhir, mulut tong sampah sengaja dibuat bermulut bundar sebagai tanda.

Saking menjaganya, saya dan peserta kegiatan konferensi itu hampir tidak membuangnya secara langsung karena diminta sama pihak panitianya. Saat makan di sebuah restoran, misalnya, kami wajib meletakkan alat bekas makan pada tempat kotornya masing-masing. Sisa makanan pun harus dibuang ke tempatnya sendiri. Tetapi, kami tidak melakukan itu. Panitia menerima bekas alat makan, dan mereka sendiri yang meletakkan semuanya.

Di hotel, tempat saya tinggal, juga demikian. Karena sampah di kamar terlampau banyak, tidak tertampung dalam tempat sampah di kamar, akhirnya saya dan rekan sekamar membawanya ke bawah guna meletakkan ke tempat yang lebih besar. Tapi, kami tak menemukan tempat sampah di lobi. Saat bertanya ke resepsionis, tiga plastik besar berisi sampah itu malah diminta oleh penjaganya.

Sebelum makan, panitia juga berdiri di pintu masuk dan mengulurkan tangannya yang menggenggam cairan pembersih. Para peserta pun membuka telapak tangannya. Lalu, mengalirlah cairan berbusa dari botol ke tangan setiap peserta.

Usai makan, wastafel di toilet pun memberikan gambaran cuci tangan yang baik, yakni dengan menyela-nyelai jari agar air juga masuk ke ruang-ruang yang tertutup itu. Hal demikian ini juga sebenarnya sudah diajarkan dalam Islam. Kalau kita buka kitab Fathul Muin karya Syekh Zainuddin al-Malibari, kita akan menemukan hal yang sama, takhlil al-ashabi’, menyela-nyelai jari.

Saya juga belajar toleransi di sana. Panitia yang mendampingi grup selalu memberikan pengumuman ada sisa waktu sekian menit dari rangkaian kegiatan untuk melaksanakan shalat bagi Muslim. Bahkan, panitia yang mendampingi grup saya memiliki aplikasi waktu shalat dan penunjuk arah kiblat di ponselnya.

Saat pertemuan di dekat Menara Tokyo, ia membuka ponselnya dan menunjukkan arah kiblat kepada saya dan rekan segrup saya dari Indonesia berdasar aplikasi penunjuk arah kiblat itu. Kami pun shalat di lorong yang menghubungkan ruang-ruang di gedung tersebut.

Masyarakat Jepang juga terbiasa berlaku tertib. Kita akan mudah menjumpai orang yang berjajar rapi mengantre. Di kasir toko, misalnya, antrean mengular tak saling serobot. Di stasiun juga demikian, mereka berdiri di belakang garis aman dan berjajar tanpa berebut masuk ke dalam kereta.

Ketertiban ini juga sudah kita lakukan sehari-hari dalam shalat. Rukun-rukun dalam shalat tidak boleh didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam berwudhu pun demikian. Tertib bahkan menjadi salah satu fardu wudhu, jika kita merujuk pada kitab Safinatun Naja karya Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami.

Orang-orang Jepang juga sangat sopan. Berbicara dengan lembut, pelan, dan senantiasa diiringi senyum semringah. Hal ini tentu saja sesuai dengan hadis Nabi yang biasa kita dengar, senyum adalah ibadah.


Syakir NF, peserta Konferensi Pelajar Asia Tenggara, Timor Leste, dan Jepang (Jenesys) di Tokyo; mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta