Internasional

Peneliti Oxford: Pemicu Gesekan Masyarakat karena Identitas yang Selalu Diungkap

Sel, 21 Januari 2020 | 16:00 WIB

Peneliti Oxford: Pemicu Gesekan Masyarakat karena Identitas yang Selalu Diungkap

Peneliti Psikologi Kognitif Universitas Oxford, Inggris, Barbara Muzzulini (kanan) menerima cinderamata dari Kaprodi Psikologi Unusia, Rakimin usai berbicara pada Diskusi Publik 'Dampak Gerakan Massa di Masyarakat dalam Perspektif Psikologi dan Ilmu Kesehatan' Selasa (21/1) di Kampus Unusia Jakarta (Foto: NU Online/A Rahman Ahdori)

Jakarta, NU Online
Peneliti Psikologi Kognitif Universitas Oxford, Inggris, Barbara Muzzulini merilis hasil temuannya terkait pemicu munculnya gesekan antarkelompok masyarakat Indonesia dalam tiga tahun terakhir (2016-2019).
 
Menurut Barbara, penyebab melebarnya gelombang masyarakat Indonesia seperti Aksi 212 dan Aksi Bela Islam dilatarbelakangi oleh identitas masyarakat yang terus menerus diungkap baik di media sosial maupun dunia nyata.
 
Identitas yang dimunculkan tersebut di antaranya identitas keyakinan, identitas suku, dan identitas lain yang berpotensi munculnya gelombang massa. Misalnya, saat rangkaian Pemilu yang berlangsung sejak tahun 2016, secara berulang-ulang, ada kelompok masyarakat yang memunculkan isu menjurus pada intoleransi serta memojokkan kelompok lain atas nama akidah atau keyakinan masyarakat Indonesia.
 
"Bagaimana peristiwa itu bisa berdampak pada identitas seseorang, tadi saya mencontohkan. Kalau di Indonesia, kenapa orang bisa mendukung 212? Kenapa setiap tahun dirayakan? Mengapa yang tidak ikut 212-pun ikut mendukung? Karena yang disentuh hal-hal krusial yang memancing emosi individu," kata Barbara Muzzulini.
 
Berbicara pada Diskusi Publik bertajuk Dampak Gerakan Massa di Masyarakat dalam Perspektif Psikologi dan Ilmu Kesehatan di Auditorium Unusia Jakarta, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (21/1) siang, Barbara menjelaskan, masyarakat memiliki hubungan personal di dalam kelompok yang dilatarbelakangi oleh terjadinya penggabungan identitas (identity fusion).
 
Baca: 
 
Gesekan di antara kelompok masyarakat tersebut melibatkan masyarakat yang memiliki kepercayaan dan nilai agama yang berbeda. Karenanya, hal yang wajar gesekan masyarakat begitu cepat terjadi. Bahkan kelompok yang merasa paling besar secara jumlah berani melakukan tindakan-tindakan intoleran.
 
Belum lagi, golongan masyarakat tersebut memiliki tingkat fundamentalisme agama yang sangat tinggi. Dalam ilmu psikologi kognitif, lanjut Barbara, jika individu masyarakat selalu disuguhi kejadian-kejadian yang telah berlalu di media sosial atau di dunia nyata apalagi dikemas dengan narasi-narasi yang mendorong agar melakukan aksi, memori masyarakat tersebut selalu mengingat apa yang dilihat dan didengar dari anggota masyarakat lain. Tanpa disadari merekapun terpanggil dan terdorong untuk melakukan tindakan. 
 
"Dalam penelitian saya, identitas yang telah tertanam kuat akan membangun motivasi fight and die response, sehingga menjelaskan kenapa individu mau dan berani merelakan dirinya untuk kelompok dan bertarung atas nama kelompok, termasuk melakukan kegiatan ekstrem," tuturnya.
 
Diskusi tersebut diadakan sekaligus dalam rangka peluncuran dan sosialisasi Unit Pelayanan dan Pengembangan Psikologi Univesitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Selain Barbara Muzzulini, hadir juga Ketua PBNU H Syahrizal Syarif, Dekan Fakultas Humaniora Unusia M Afifi, serta Kaprodi Psikologi Unusia Rakimin.
 
 
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan