Internasional

Pengadilan Austria Batalkan Larangan Memakai Jilbab di Sekolah Dasar

Ahad, 13 Desember 2020 | 00:30 WIB

Pengadilan Austria Batalkan Larangan Memakai Jilbab di Sekolah Dasar

Mahkamah Konstitusi Austria membatalkan Undang-Undang (UU) yang melarang siswi di sekolah dasar memakai penutup kepala khas agama tertentu, Sabtu (12/12).

Wina, NU Online
Mahkamah Konstitusi Austria membatalkan Undang-Undang (UU) yang melarang siswi di sekolah dasar memakai penutup kepala khas agama tertentu, Sabtu (12/12). UU ini dinilai diskriminatif dan inkonstitusional.


Secara tegas, UU tersebut melarang anak-anak—hingga berusia 10 tahun- mengenakan ‘pakaian yang dipengaruhi ideologis atau agama, yang terkait dengan penutup kepala’. Berdasarkan materi tambahan, Presiden Mahkamah Konstitusi Austria, Christoph Grabenwarter, mengatakan, item pakaian (penutup kepala) yang disasar UU tersebut adalah jilbab—yang biasa dipakai siswi Muslim. 


Mahkamah Konstitusi Austria menyatakan bahwa UU yang diberlakukan sejak musim gugur 2019 ini melanggar prinsip persamaan dan kewajiban negara terhadap netralitas agama. Karena bagaimanapun, dalam praktiknya, UU tersebut hanya berdampak pada satu siswi agama saja, yaitu Islam.  


Grabenwarter menilai, dilansir laman DW, Sabtu (12/12), UU ini berisiko menghalangi siswi Muslim pada pendidikan, terutama menutup mereka dari masyarakat. UU kontroversial ini diperkenalkan oleh Partai Rakyat konservatif yang berkuasa saat itu berkoalisi dengan Partai Kebebasan yang beraliran sayap kanan. 


Pemerintah berdalih, UU itu dimaksudkan untuk melindungi anak perempuan dari tekanan sosial teman sepantarannya. Namun, Mahkamah Konstitusi Austria menganggapnya salah sasaran. Diberitakan BBC, Sabtu (12/12), pemerintah Austria diminta untuk membuat regulasi yang lebih cermat untuk mencegah intimidasi atas dasar agama atau gender. 


Komunitas Agama Islam Austria (IGGOe) menyambut baik putusan itu. Sebagai pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan, Komunitas Agama Islam Austria menilai, itu merupakan langkah penting menuju kebebasan beragama dan supremasi hukum.


“Kesempatan yang setara dan otonomi anak perempuan dan perempuan dalam masyarakat kita tidak bisa dicapai melalui pelarangan,” kata Presiden Komunitas Agama Islam Austria, Umit Vural.


Bagi Vural, yang menjadi fokus adalah hak asasi. Karena itu, di samping pelarangan memakai jilbab bagi mereka—yang memahami jilbab sebagai bagian dari praktik kehidupan beragama, dia juga tidak bisa menerima pemaksaan anak perempuan memakai jilbab.  


Kanselir Austria, Sebastian Kurz, secara konsisten mengambil gari keras terhadap imigrasi. Kebijakannya saling melengkapi dengan Partai Kebebasan sayap kanan (FPO)—yang mengatakan Islam tidak memiliki tempat di masyarakat Austria. Keduanya berkoalasi pada 2017, namun tahun lalu koalisi mereka berakhir. 


Saat pertama kali mengusulkan UU larangan jilbab bagi siswi Muslim pada 2017, Kurz mengatakan, aturan ini dibuat untuk untuk ‘menghadapi perkembangan masyarakat yang setara’. Sementara Wakil Kanselir Austria, Heinz Cristian Strache—dari Partai Kebebasan- menyebut, pemerintahannya ingin melindungi anak perempuan dari politik Islam. 
 

Putusan pembatalan larangan jilbab ini datang setelah sebelumnya dua anak perempuan dan orang tuanya menggugat UU tersebut. Mereka berargumen, larangan itu hanya berlaku untuk kain yang menutupi seluruh kepala (jilbab). Sementara, penutup kepala yang dipakai siswa beragama Sikh atau kippah untuk umat Yahudi tidak termasuk pakaian yang dilarang dalam UU ini. Karena itu, mereka menilai, pelarangan ini merupakan sesuatu yang tidak proporsional atas kebebasan beragama dan melanggar prinsip kesetaraan. 


Pada 2018, diperkirakan sekitar 4,2 persen dari populasi Austria adalah Muslim.


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad