Internasional

Pengalaman Berpuasa 21 Jam di Finlandia

NU Online  ·  Senin, 13 Mei 2019 | 20:45 WIB

Jakarta, NU Online
Masyarakat Indonesia pada umumnya menjalani puasa selama kurang dari 14 jam. Tapi tidak dengan umat Islam yang tinggal di Finlandia. Mereka harus menanti waktu Maghrib dari terbit fajarnya selama 18 jam dan akan terus bertambah sampai 19,5 jam pada akhir Ramadhan 1440 H ini.

Hal itulah yang dirasakan oleh Arif Tirto Aji, seorang Nahdliyin yang tengah menempuh studi doktoral di negeri dengan pendidikan terbaik di dunia itu. Tentu saja dalam bayangan awalnya, ia merasa berat.

“Yang paling berat adalah rasa kantuk, karena dalam waktu malam yang pendek itu, harus dimanfaatkan untuk buka puasa, shalat Maghrib, shalat Isya, shalat tarawih, dan sahur,” katanya kepada NU Online pada Senin (13/5).

Arif dan keluarganya punya tips tersendiri mengatasi kantuk tersebut, yakni dengan membagi dua waktu tidur, selepas Asar dan setelah Subuh.

Meskipun demikian, ia dan keluarganya menjalani rukun Islam keempat itu dengan lancar. Durasi puasa yang cukup panjang itu, menurutnya, dijalani lebih mudah mengingat cuaca yang sejuk, sekitar sembilan sampai 11 derajat celsius dan udara yang rendah polusi. “Alhamdulillah, semua lancar,” ujar anggota Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Federasi Rusia dan Eropa Utara (FREU) itu.

Ia tetap beraktivitas sebagaimana biasanya, yakni berkantor untuk menyelesaikan studinya di kampus dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00. Pria asal Weleri, Kendal, Jawa Tengah itu berangkat dari rumahnya di Kauniainen, sekitar 10 km dari Universitas Aalto, tempat studinya, menggunakan sepeda. Untuk sampai di kampusnya tersebut, Arif menghabiskan waktu 40 menit mengayuh sepedanya. “Biasanya saya sepedaan ke kampus 40 menit melewati hutan dan sebagainya. Alamnya yang segar menurut saya malah rugi kalau naik kendaraan (bermesin),” katanya, “malah lebih cepat dibanding naik bus,” imbuhnya.

Puasa selama itu belum seberapa dibandingkan dua tahun lalu. Baginya, pengalaman berpuasa pada Ramadhan 1438 H merupakan puasa terberat yang pernah ia jalani. Betapa tidak, ia harus menjalani puasa di saat suhu mencapai 30 derajat dengan durasi selama 21 jam. “Berat sekali,” ujarnya.

Karenanya, tak sedikit rekanannya yang meminta menghentikan ibadahnya tersebut. Bahkan, katanya, mereka menilai kegiatan menahan untuk tidak makan dan minum selama itu tidak bijak. “Minimnya pengetahuan orang di sini tentang agama Islam, mereka menganggap puasa adalah hal yang kurang bijak,” ujarnya.

Pada 2017 lalu, saat tengah menjalani puasa Ramadhan, kantornya mengadakan Summer Trip ke sebuah pulau di selatan Helsinki. Sepanjang perjalanan ke sana, rekanannya berulang kali menawarkan air minum dan bekal kepadanya. “Tentu saja saya tolak,” tegas pria yang studi pada bidang ilmu dan teknik material itu.

Bahkan, menurutnya, justru sejawatnya itu yang pucat karena khawatir dia pingsan. Hal itu merupakan bentuk perhatian warga di sana.

Di samping itu, ia juga pernah menerima surel (email) dari guru anak-anaknya yang meminta agar menghentikan puasa anak-anaknya. Ia pun menyampaikan pesan tersebut ke buah cintanya. “Tapi malah mereka (anak-anaknya) marahin saya. Terus saya harus gimana?” ucap penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tersebut.

Sementara itu, sebagian Muslim di sana, jelasnya, ada yang tidak mengikuti waktu lokal. Puasa mereka disesuaikan dengan waktu Mekah.

Adapun rakaat shalat tarawih yang pernah ia ikuti di Masjid Al-Ikhlas Leppavaara berjumlah 11 rakaat plus witir. Pilihan masjid tersebut karena jaraknya dua kilometer dari rumahnya atau 30 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. (Syakir NF/Abdullah Alawi)