Internasional RAMADHAN DI LUAR NEGERI

Perlu Kesabaran Ekstra Berpuasa di Pakistan

Ahad, 10 Juni 2018 | 21:30 WIB

Jakarta, NU Online
Nadya Hidayah harus betul-betul sabar berpuasa di Islamabad. Ia yang terbiasa berpuasa dengan hanya 12 jam di Indonesia, ibu kota Pakistan itu mengharuskannya menahan lapar dan dahaga tiga jam lebih lama. Kesabaran ekstra memang betul harus dijalaninya, mengingat suhu kota tersebut mendekatai 50 derajat celcius.

"Musim panas di sana panas sekali. Suhunya sampai 40 derajat lebih," katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu.

Di tengah suhu yang begitu panas, ia merindukan dingin dan manisnya es buah ala Indonesia serta nikmatnya kolak. Sebab, di tempat tersebut, ia tak menemukan orang berjualan itu. Jika mau, ia harus membuatnya sendiri di rumah.

Masyarakat Pakistan, kata Nadya, berbuka dengan makanan berkari dan kebab seperti hari-hari biasanya. Di antaranya, chicken karahi dan qema. Tidak ada makanan khas Ramadhan di sana.

"Enggak ada makanan khas. Makanan biasa dimakan tiap hari," ujarnya.

Saban sore, Nadya menceritakan, masyarakat Pakistan ngabuburit mencari makanan. Tetapi, lanjutnya, tidak ada yang buka bersama di luar rumah. Sementara ia, setiap minggu buka bersama di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

"Kalau saya tiap minggu ada bukber di KBRI bareng orang-orang Indonesia yang tinggal di sana," kata perempuan yang menghabiskan masa studi tsanawiyahnya di Pondok Buntet Pesantren itu.

Setiap tahun, jelas Nadya, KBRI mengundang warga Indonesia yang menetap di Pakistan untuk buka bersama di KBRI. Hal itu guna meningkatkan kebersamaan.

Di sana, perempuan yang pernah belajar di ASAS International School Islamabad itu bertarawih sebanyak 23 rakaat dengan witir setiap malamnya. Tetapi tidak seperti di Indonesia yang biasa berjamaah di masjid. Di Islamabad hampir tidak ada perempuan yang shalat di masjid, kecuali di Masjid Faisal, masjid yang dibangun oleh Raja Faisal Saudi Arabia pada tahun 1968.

Nadya sendiri sering kali berjamaah di masjid KBRI bersama masyarakat Indonesia yang tinggal di sana. Di tempat tersebut juga, para pelajar Indonesia menghabiskan 10 hari terakhir Ramadhannya untuk beriktikaf. (Syakir NF/Kendi Setiawan)