Kesehatan

Pemenuhan Hubungan Seksual di Lokasi Bencana untuk Kesehatan

Kam, 8 Desember 2022 | 13:00 WIB

Pemenuhan Hubungan Seksual di Lokasi Bencana untuk Kesehatan

Pemerintah wajib memberikan fasilitas untuk pemenuhan . (Ilustrasi: via patheos.com)

Bencana dapat menimbulkan dampak kesehatan fisik maupun mental bagi manusia. Gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana alam lain yang merusak bangunan tentu mengancam keselamatan jasmani orang-orang yang terdampak olehnya. Masyarakat yang selamat tetapi harus mengungsi juga mengalami tekanan mental yang tidak kalah berat ketika beradaptasi dengan berbagai keterbatasan. 


Pasangan suami istri yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana juga rentan mengalami kurangnya jaminan privasi dalam urusan kehidupan rumah tangganya. Bagi mereka yang selamat dari bencana, tidak terpenuhinya kebutuhan seksual khusus suami istri di lokasi pengungsian dapat memperberat tekanan jiwa. Padahal, bagi orang yang telah menikah, salah satu bentuk refreshing adalah berhubungan suami istri.


Kebutuhan untuk berhubungan seksual di tempat yang layak dan aman bagi suami istri terdampak bencana tentu perlu dijamin. Jaminan dan bantuan terhadap kebutuhan ini sama urgensinya dengan bantuan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan asasi lainnya. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, ada beberapa dampak kesehatan yang dapat muncul. 


Sebagai fitrah laki-laki sehat yang telah beristri, kebutuhan seksual seorang suami dipengaruhi oleh produksi sperma yang tidak berhenti setiap hari. Meskipun berada di lokasi pengungsian pasca bencana, hasrat untuk kebutuhan yang satu ini dapat menguat sewaktu-waktu. Bila hasrat suami tidak tersalurkan justru bisa menambah tekanan jiwa. Apalagi, sebagai kepala rumah tangga, suami biasanya menanggung beban berat ketika terdampak bencana.


Meskipun agak berbeda dengan laki-laki, produksi sel telur dalam siklus bulanan seorang istri tentu mempengaruhi kebutuhan seksualnya. Siklus bulanan seorang istri juga tidak berhenti selama masih dalam usia produktif. Situasi bencana sangat mungkin mengganggu kenyamanan psikologis wanita sehingga berpengaruh terhadap hormonnya. Namun, itu tidak berarti kebutuhan seksual mereka hilang di tengah bencana.


Para suami mungkin mengatasi kejenuhan dan tekanan mentalnya dengan berkegiatan dalam gotong royong di lokasi bencana. Di sisi lain, kaum wanita yang sedang dirundung kesedihan akibat bencana juga dapat mengalihkan tekanan psikologisnya dengan memasak bersama di dapur umum atau kegiatan yang lain yang sifatnya beramai-ramai. 


Kegiatan massal dan sosial di pengungsian diakui dapat menjadi hiburan bagi para korban bencana. Namun, ketika kebutuhan seksual suami istri yang tidak dapat diwakilkan muncul, tentu pilihan terbaik adalah memenuhinya bersama dengan pasangannya meskipun dalam kondisi mengungsi. Di sinilah pentingnya tempat darurat yang khusus disediakan secara spesial bagi para suami istri terdampak bencana.


Bila kebutuhan seksual pasangan suami istri terpenuhi, kesehatan mereka pun dapat meningkat. Menurut Al-Hafiz Adz-Dzahabi, pemenuhan hasrat seksual yang halal dapat memberikan efek positif dan menyehatkan secara fisik maupun mental.


“Hasrat itu mestilah akibat dari adanya kelebihan sperma. Jika hubungan seksual tidak melebihi batas kewajaran, ia bisa menghidupkan energi batin, membuat orang merasa gembira, membangkitkan selera makannya, menghilangkan pikiran sedih, melankolis, dan perasaan tertekan.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyaul Ulum: 1990 M], halaman 48)


Berdasarkan keterangan tersebut, masalah-masalah psikologis dan kesedihan yang sering menghinggapi suami istri korban bencana alam dapat diringankan melalui hubungan seksual. Sebaliknya, apabila kebutuhan seksual tidak terpenuhi, mungkin karena ditahan oleh pasangan suami istri sehingga mereka berpantang melakukannya di lokasi bencana, justru dapat merugikan kesehatan.


“Berpantang dan menahan diri dari hubungan seksual telah mengakibatkan lebih dari satu macam penyakit. Hubungan seksual memelihara kesehatan, tetapi jika dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan penyakit gemetaran dan kelumpuhan, melemahkan kemampuan tubuh dan penglihatan.” (Adz-Dzahabi, 1990 M: 48)


Berdasarkan kutipan tersebut, ada penyakit yang bisa muncul karena suami istri berpantang melakukan hubungan seksual. Berpantang di sini yang dimaksud adalah tidak menyalurkan hasrat seksual suami istri ketika kemauan untuk itu sudah sangat kuat. Gangguan emosi dan pikiran rentan terjadi bila kebutuhan seksual yang membuncah tidak tersalurkan. Hal ini tentu akan berdampak kepada kesehatan psikologis, baik pada laki-laki maupun wanita.


Apabila berpantang atau menahan diri dari hubungan suami istri dilakukan dalam jangka panjang, beberapa gangguan hormonal dapat terjadi. Dalam tinjauan ilmiah tentang hormon, sentuhan kulit antara suami dan istri saat berhubungan seksual dapat memacu pengeluaran hormon oksitosin. Hormon ini merupakan hormon cinta dan kebahagiaan yang tentu sangat penting bagi laki-laki dan wanita yang sudah menikah.


Selain oksitosin, sentuhan kulit antara suami dan istri juga bisa memacu keluarnya hormon serotonin dan mengurangi hormon kortisol. Hormon kortisol dikenal sebagai hormon stres. Oleh karena itu, hubungan suami istri yang melibatkan kontak kulit antara suami dan istri dapat mengurangi stres, seperti stres dan kecemasan yang sering terjadi di lokasi pengungsian akibat bencana alam.


Hal yang tidak kalah penting adalah pemenuhan kebutuhan seksual suami istri selayaknya dilakukan seperlunya dan tidak berlebih-lebihan. Upaya ini juga relevan ketika diterapkan di lingkungan bencana yang penuh keterbatasan. Selain itu, adanya empati terhadap orang lain yang mungkin kehilangan keluarganya juga perlu dijaga. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi