Lingkungan

Ramadhan, Lingkungan, dan Umat Manusia

Sel, 5 Mei 2020 | 11:00 WIB

Oleh: Abdul Rahman Ahdori 
Ramadhan 1441 Hijriah telah mengunjungi umat Islam sejak Jumat, 24 April 2020 lalu. Kehadirannya telah memberikan warna berarti dalam setiap aktivitas umat Islam. Pahala dan nilai kebaikan sudah tak diragukan lagi. Ramadhan menjadi momentum tepat menyucikan hati dan pikiran umat manusia.
 
Namu, tahun ini menjadi Ramdhan paling berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena Ramadhan kali ini bertepatan dengan pandemi Covid-19. Wabah yang menyerang masyarakat dunia tersebut telah meluluhlantahkan multisektor utama dalam kehidupan yaitu kesehatan, ekonomi, dan kohesi sosial. 
 
Dampaknya jangan ditanya lagi, banyak orang miskin baru di Indonesia akibat pandemi Covid-19 yang kenaikan angkanya mencapai delapan persen. Kebutuhan pangan menjadi sesuatu yang diperjuangkan baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pemerintah.
 
Meski begitu, terdapat hikmah yang dapat kita petik dari kejadian ini. Salah satunya adalah kualitas lingkungan yang kembali asri nan sejuk, lantaran tidak ada polusi yang bertebaran ke udara. Di Jakarta misalnya, udara terlihat segar dan cerah karena minimnya kendaraan yang lalu lalang. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengubah keadaan lingkungan Jakarta menjadi sehat kembali. Tidak salah jika penulis sempat berpikir 'munculnya wabah Covid-19 karena Tuhan ingin memulihkan bumi dan alam semesta yang sejak ratusan tahun dirusak umat manusia'. Wallahu a'lam
 
Mendekatkan dengan Anggota Keluarga
Hikmah lainnya yaitu setiap keluarga lebih banyak waktu bersama anggota di lingkungan rumahnya. Bagi sebagian orang, gerakan #Dirumahsaja menjadi momentum spesial karena telah berperan mendekatkan suami dengan anak dan istrinya.
 
Kasih sayang antara suami istri dengan anak atau orang-orang terkasih yang sempat terunda karena kesibukan dapat ditingkatkan melalui pertemuan tatap muka yang intens di rumah.   
 
Hal yang juga penting untuk kita renungkan, Ramadhan 1441 sekaligus pandemi Covid-19 ini telah mendekatkan umat manusia kepada Allah SWT. Relasi habluminallah menjadi sesuatu yang diperkuat oleh umat Islam mengingat aktivitas yang semakin luang. Tentu ini akan memiliki dampak spiritual yang positif, bukan saja pahala yang didapat. Tetapi nilai ketakwaan sangat mungkin hadir kepada seorang hamba Allah.
 
Hindari Bersikap Berlebihan 
Sikap tidak berlebihan seharusnya sudah tertanam dalam diri umat manusia sejak alam pikiran menyentuh emosionalnya sebagai manusia dewasa. Hal ini penting, mengingat sikap yang berlebihan tidak dibenarkan baik oleh ketentuan agama maupun ketentuan ilmu sosial.
 
Tidak bermaksud menyudutkan pihak mana pun, andai kata manusia mengikuti anjuran agama yaitu tidak mengkonsumsi hewan-hewan liar yang sudah jelas dalil dalam Al-Qur'an dan hadist nabi sebagai makanan yang haram, mungkin wabah Covid-19 tidak muncul dan menyerang umat manusia di dunia.  Itulah manusia, selalu ingin bersikap tidak puas terhadap apa yang selama ini didapatkan, rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu menjadikannya pribadi arogan dan mau menang sendiri tak ubahnya seperti sikap hewan.  
 
Dalam khazanah Islam, ulasan tentang berlebihan diuraikan melalui beberapa istilah seperti ghuluw, tatharruf, atau lainnya. Secara bahasa kedua istilah itu memiliki arti yang mirip, yakni sikap berlebihan, melampaui batas, keterlaluan, dan ekstrem. 
 
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dam minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak meyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS.Al-A’raf;31).
 
Makanan yang halal pada hakikatnya adalah makanan yang didapat dan diolah dengan cara yang benar menurut agama. Sedangkan makanan yang baik dapat dipertimbangkan dengan akal dan ukuran kesehatan. Artinya, makanan yang baik adalah makanan yang berguna bagi tubuh dan tidak membahayakan dilihat dari sudut pandang kesehatan.  
 
Makanan yang baik lebih bersifat kondisional tergantung situasi dan kondisi manusia. Walaupun makanan itu halal secara agama tetapi  jika dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan penyakit. Kondisi inilah yang menurut penulis terjadi sekarang, sikap berlebihan masyarakat dunia terhadap makanan yang dikonsumsinya menyebabkan terjadinya ragam penyakit yang meruntuhkan segala sektor.
 
Akhirnya, kita sebagai umat manusia hanya bisa merefleksikan diri, bahwa terdapat dasar mengapa peran spiritual itu penting dimiliki oleh umat manusia. Sebab, tidak semua yang dipikirkan oleh akal sesuai dengan nurani suci yang ada pda umat manusia. Sebaliknya, tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan spiritual, perlu ada usaha lain yang bersifat dzahir terlebih dahulu misalnya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sebelum dilakukan sikap menyerah kepada keadaan. 
 
Tidak hanya soal makanan, sikap berlebihan dalam berbagai hal juga tidak dibenarkan oleh agama. Apalagi berlebihan dalam hal mengeksploitasi sumber daya alam. Alam semesta yang Tuhan ciptakan semestinya dirawat dan dijaga dengan baik agar berdampak positif untuk umat manusia serta bisa dirasakan oleh anak cucu kita ratusan tahun kemudian.  Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah.
 
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ 
 
"Dan bila manusia memegang kuasa, ia berjalan di bumi untuk berbuat kerusakan di atasnya, serta menghancurkan tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan." (QS al-Baqarah: 205)
 
Kewajiban Menjaga Lingkungan
Para mufassir sepakat bahwa perusakan di bumi adalah tindakan yang menyimpang dari syariat Islam. Dalam ayat itu disebut sebagai tindakan yang dibenci Allah. Manusia punya kecenderungan untuk menundukkan alam kala memiliki kapasitas untuk itu. Sifat-sifat tercela, seperti serakah, egois, dan kepentingan duniawi lainnya membuat manusia lupa bahwa alam juga makhluk Allah yang butuh kasih sayang.
 
Keseimbangan alam tergantung pada perilaku manusia terhadapnya. Ketika nafsu mengeruk kekayaan, mengeksploitasi sumber daya bercokol dalam diri, maka yang keluar adalah praktik-praktik destruktif. Akibatnya buruknya pun kembali pada manusia.
 
Cara menyehatkkan lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan. Sikap manusia yang mencintai lingkungan bisa dimulai dengan menjaga kebersihan di tempat-temat terdekatnya. Sebagaimana qaul ulama populer 'Kebersihan sebagian daripada iman'. Artinya, tidak beriman seseorang jika dia tidak mencintai kebersihan. Sebab, ketika seseorang tersebut sudah cinta kebersihan segala sesuatu untuk membersihkan lingkungan atau tempat pasti dilakukan. 
 
Dalam jangkauan yang lebih luas, menjaga kesehatan lingkungan adalah menjaga kelestarian alam, tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak alam yang bisa berdampak buruk kepada umat manusia seperti banjir, kebakaran dan dampak buruk lain yang juga berakibat fatal untuk kesehatan manusia. Jika ada seorang pebisnis kayu yang setiap hari menebang kayu di hutan, maka satu kali menebang harus diimbangi dengan menanam sepuluh pohon baru, sebagai bentuk tanggung jawab kita terhadap ekosistem tanah dan tumbuh-tumbuhan.  
 
Penting diketahui, banyaknya hutan asli di pegunungan berfungsi sebagai tata iklim, tata air, dan tata angin. Energi air hujan yang jatuh ke bumi ditahan kanopi hutan dan jatuh ke bawah masuk lewat serasah yang akhirnya meresap ke dalam tanah. Hutan di gunung mampu meresapkan air hujan semusim ke dalam tanah sebesar > 80 persen dan sebagian kecil air hujan dialirkan sebagai air permukaan.
 
Artinya, hujan semusim lebih dari 80 persen diresapkan ke dalam tanah dan dikeluarkan secara proporsional di sekeliling gunung sebagai mata air (sumber air). Mata air itu akan menyuplai dan menambah debit air sungai di sekeliling gunung sehingga bisa berair selama setahun. Tanah gunung semakin tidak stabil dan siap longsor. Awalnya akan muncul retakan-retakan tanah di puncak sampai lereng dan air hujan yang turun > 80 persen akan mengalir. Sebagian yang lain akan meresap lewat retakan. Retakan-retakan semakin lebar dan mulai menurun. Masyarakat mengenal sebagai tanah bergerak.
 
Banyaknya retakan akan dimasuki air hujan sehingga tanah lereng tambah berat dan mulai turun yang ditunjukkan bagian bawah lereng menggelembung. Bila hujan terus-menerus, tanah lereng akan longsor seperti cairan. Bila masuk sungai akan mengalir sebagai banjir bandang yang menerjang dan membawa apa saja yang dilewatinya.
 
Hutankan Kawasan Pegunungan, Lestarikan Lahan Gambut
Solusi atas persoalan tersebut dapat dilakukan dengan menghutankan kawasan pegunungan. Penghutanan kembali dengan reboisasi jelas tidak efektif karena butuh waktu lama untuk tumbuh. Untuk itu, bersamaan dengan reboisasi, dibarengi dengan rekayasa vegetasi. Yakni, penanaman batang pohon yang masih hidup dengan aturan sekitar 2/3 masuk ke dalam tanah, 1/3 muncul di permukaan atau ditaruh. Harapannya, dari batang yang tertanam, tumbuh akar serabut yang akan mengikat dan memperkuat tanah.
 
Selain itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengontrol aktifitas berlebihan umat manusia tersebut. Jangan sampai kawasan hutan beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur. 
 
Selain banjir bandang, fenomena yang kerap menerpa sebagian wilayah Indonesia adalah kebakaran hutan terutama di tujuh provinsi yang terdapat kawasan gambutnya. Di Indonesia, pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas 6,3 juta ha. Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha). Selain itu ada Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.  
 
Seperti yang sudah banyak disampaikan Badan Restorasi Gambut (BRG) Republik Indonesia, sebagai lembaga yang bertugas mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi gambut yang rusak. Banyak cara membuka lahan gambut, tidak mesti dibakar. Sebab, lahan gambut rentan dengan api, kebakaran kecil akan berdampak besar untuk lingungan jika tidak dilakukan upaya-upaya kongkrit misalnya tidak dilakukan kanalisasi dan reboisasi hutan gambut. 
 
Gambut adalah lahan yang memiliki struktur berbeda dengan tanah pada umumnya, tentu hal itu bukanlah musibah. Sebaliknya, lahan gambut merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT sebab di lahan gambut kaya akan material organik. Terbentuk dari akumulasi pembusukan bahan-bahan organik selama ribuan tahun. Keberadaannya memiliki berbagai manfaat. Antara lain, gambut bisa menyimpan 30 persen karbon dunia, mencegah kekeringan, dan mencegah pencampuran air asin di irigasi pertanian dan dapat menjadi rumah bagi satwa langka.
 
Sejak dibentuk tahun 2016 BRG telah melakukan berbagai upaya kepada masyarakat agar mengolah  lahan gambut tanpa bakar, meningkatkan kesadaran masyarakat merawat lahan gambut dan melakukan aktivitas ekonomi di lahan gambut. Semua itu dilangsungkan dalam rangka mengurangi akifitas perusakan lingkungan dan mengembalikan ekosistem gambut yang rusak, sehingga kembali pulih dan memberikan dampak positif untuk masyarkat. Kebakaran hutan yang terjadi tahun 2015 di Riau telah merugikan berbagai sektor, diantaranya ekonomi yang merosot, aktivitas warga yang terbatasi dan kesehatan masyarakat yang semakin buruk bahkan terdapat korban jiwa dalam kebakaran hutan tersebut karena asapnya yang menyerang paru-paru. 
 
Penulis meyakini saat ini di dalam bulan suci adalah momentum yang tepat untuk merefleksikan diri serta menguatkan iman dengan cara menjaga lingkungan dan kelestarian alam. Dengan begitu jihad merawat lingkungan akan menjadi catatan pahala yang dapat dipetik umat manusia nanti di akhirat. Mudah-mudahan tulisan sederhana bisa mendorong kita semua untuk terus mencintai lingkungan. Semoga puasa kita diterima oleh Allah SWT. Amin ya rabbal alamin. 

Penulis adalah Jurnalis Muda NU Online, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.